
Kabar Terbaru! Tsunami Kebangkrutan di Amerika, Eropa & China

- Ekonomi dunia belum sepenuhnya lepas dari berbagai tekanan akibat inflasi, era suku bunga tinggi bak tekanan yang tiada habisnya bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia.
- Ekonomi Amerika, Eropa, dan China tentu menjadi sorotan karena bakal berpengaruh kepada perekonomian banyak negara berkembang melandai. Permintaan ekspor pun akan melemah dan harga komoditas akan jeblok.
- Beberapa perusahaan di negara-negara tersebut pun mengalami kebangkrutan
Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan ekonomi global masih saja menjadi 'momok' mengerikan bagi negara-negara di dunia. Merosotnya ekonomi, inflasi hingga era suku bunga yang tinggi kian membawa negara-negara global ke jurang resesi. Tentu saja semua mata kini tertuju pada Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China.
Sejak meletusnya perang Rusia-Ukraina 14 Februari 2022, yang menjadi sorotan tentu saja negara 'super power di dunia' AS, Eropa, dan China. Ini terjadi lantaran melonjaknya harga energi yang mendorong inflasi, sehingga memukul rumah tangga dan bisnis. Lantas bagaimana kabarnya saat ini?
Dana Moneter International (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 menjadi 2,9%. Angka perkiraan ini naik dari proyeksi yang dibuat pada Oktober yakni hanya berkisar 2,7%.
Perubahan proyeksi ini dipicu oleh pembukaan kembali aktivitas perekonomian China. Berdasarkanlaporan IMF, hal ini membuka jalan untuk pemulihan aktivitas ekonomi dengan cepat.
Jika dilihat secara wilayah, IMF memproyeksikan pertumbuhan Amerika Serikat akan melambat menjadi 1,4% pada 2023 karena masih dihadapkan dengan tingkat suku bunga yang tinggi. IMF tak menyebut secara eksplisit, AS akan mengalami resesi. Namun, dari proyeksi yang dilaporkan, pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini semakin melemah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Lantas bagaimana sebetulnya kondisi saat ini?
Amerika Serikat (AS)
Tak lama berselang setelah perang Rusia-Ukraina terjadi, kondisi ekonomi AS langsung memprihatinkan. Sejumlah analis mengingatkan bahwa risiko resesi di Negeri Adidaya ini makin nyata. Namun, hingga saat ini ekonomi AS belum juga dikatakan resesi.
Namun jelas, faktor penyebab resesi adalah ekonomi tertekan akibat suku bunga tinggi yang belum menandakan tanda-tanda bakal mereda meskipun inflasi AS sudah mulai melandai.
Ekonomi AS saat ini masih terbilang kuat meskipun bank sentralnya menaikkan suku bunga terus menerus dan belum menunjukkan tanda-tanda berakhir untuk meredam inflasi yang melonjak 'gila-gilaan'.
Meskipun belakangan, inflasi sudah menunjukkan tanda-tanda pelandaian namun tetap mesti waspada akibat kenaikan biaya tempat tinggal dan bahan bakar berdampak ke konsumen.
Sebagaimana dilaporkan Departemen Tenaga Kerja AS, indeks harga konsumen naik 0,5% di Januari 2023 secara bulanan (month to month/mtm). Secara tahunan (yoy), inflasi berada di 6,4%.
Angka ini masih berada di atas ekspektasi sejumlah analis yang memperkirakan kenaikan masing-masing 0,4% dan 6,2%. Angka ini tentu masih jauh dari 'mimpi' The Fed yang menargetkan inflasi sebesar 2%.
Dengan kenaikan ini, maka runtuh sudah harapan bahwa The Fed bakal meredam bahkan menurunkan suku bunganya. Kendati demikian, ekonomi AS masih sangat kuat. Ekonomi AS berhasil tumbuh 2,9% pada kuartal IV-2022.
Jika dilihat secara tahunan atau full year ekonomi AS pada 2022 tumbuh 2,1 persen. Memang jauh di bawah pertumbuhan pada 2021 sebesar 5,9 persen karena saat itu permintaan kembali pulih karena ada pelonggaran aktivitas ekonomi setelah ditutup karena pandemi.
Kuatnya ekonomi AS, Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan ini melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.
Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.
Akibat tekanan ekonomi yang terjadi di negara super power ini banyak perusahaan raksasa asal negara ini mengalami kebangkrutan. Selain itu, meski tingkat pengangguran turun, nyatanya banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satunya, Amazon yang merupakan perusahaan e-commerce yang sudah PHK kepada 18.000 karyawannya.
Alasan PHK Amazon ini dipicu oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil, Amazon juga mengaku ada strategi perusahaan yang kurang tepat dengan merekrut terlalu banyak karyawan selama periode pandemi sehingga terus tertekan ketika guncangan ekonomi pasca perang meletus.
Zona Eropa
Sementara di kawasan Eropa, prospek perekonomiannya pada tahun ini lebih menantang, meskipun mulai ada tanda-tanda Eropa mulai bangkit dari keterpurukan karena krisis energi. Meskipun negaranya tak boleh lengah.
Seperti diketahui, pasca terjadinya perang Rusia-Ukraina harga energi di Eropa telah meningkat 4 kali lipat tahun 2022. Krisis ini terjadi karena Rusia telah memangkas aliran gas alam Eropa yang semula melimpah dan digunakan untuk menggerakkan denyut ekonomi Eropa mulai dari pabrik, pembangkit listrik, dan menjaga rumah tetap hangat selama musim dingin.
Gas memang merupakan sumber energi terpenting bagi industri Eropa, bahkan gas menjadi bahan baku penting yang digunakan dalam industri kimia dan pupuk.
Secara total, industri mengkonsumsi sekitar 27-28% dari total keseluruhan pasokan energi di Benua Biru, menurut Wakil Direktur Penelitian gas di Institut Oxford untuk Studi Energi Anouk Honore.
Dari total konsumsi industri Eropa tersebut, industri kimia dan petrokimia menggunakan sebanyak 10% gas. Disusul oleh industri mineral non-logam dan industri makanan, minuman, dan tembakau yang masing-masing mengkonsumsi sebesar lebih dari 3%. Industri logam dan kertas memiliki porsi konsumsi sebesar 3% dan 2%.
Analisis GraydonCreditsafe dikuatkan oleh hasil jajak pendapat baru-baru ini, yang menemukan bahwa tiga perempat peritel independen Belgia mengkhawatirkan kebangkrutan dalam beberapa bulan mendatang.
Oleh sebab itu, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kawasan Eropa pada tahun ini hanya mencapai 0,7%. Melihat proyeksi pertumbuhan IMF untuk Eropa tahun ini, juga bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini masih sangat lemah.
Meski demikian, Ekonomi zona Euro membukukan pertumbuhan positif pada kuartal terakhir tahun 2022. Ini mengalahkan ekspektasi dan mengurangi kekhawatiran akan potensi resesi di blok tersebut yang sudah didegungkan sejak tahun lalu.
Meski begitu, data ekonomi Jerman masih tetap mengejutkan. Ekonomi Eropa terbesar berkontraksi sebesar 0,2% pada kuartal terakhir tahun 2022, di mana analis sekarang memperkirakan Berlin akan menuju resesi.
Akibatnya, perang Rusia-Ukraina ini menelan biaya ekonomi Jerman sekitar Rp 160 miliar euro atau setara dengan Rp 2.592 triliun (Kurs Rp 16.200) tahun ini. Diketahui, nilai ini sekitar 4% dari total produk domestik brutonya. Ini berarti PDB per kapita di ekonomi terbesar Eropa akan menjadi 2.000 euro lebih rendah dari yang seharusnya.
Industri merupakan bagian ekonomi yang lebih tinggi di Jerman daripada di banyak negara lain, dan sektor ini sebagian besar padat energi.
Artinya, perusahaan Jerman sangat terpukul oleh lonjakan harga energi, yang tahun lalu mencapai rekor tertinggi di Eropa. Bahkan industri Jerman akan membayar sekitar 40% lebih banyak untuk energi pada 2023 dibandingkan pada 2021, sebelum krisis.
Mengutip dari Reuters, Badan Statistik Eurostat melaporkan bahwa sejumlah perusahaan negara-negara Eropa melonjak ke level tertinggi selama 3 bulan terakhir. Perusahaan diketahui mengalami gagal bayar.
"Jumlah pernyataan kebangkrutan perusahaan meningkat selama 4 kuartal pada tahun 2022" Kata Eurostat di kutip Reuters.
Dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa sektor dengan tingkat gagal bayar tertinggi adalah transportasi dan penyimpanan yang melonjak 72,2% serta akomodasi dan jasa makanan dengan kenaikan mencapai 39,4%. Sedangkan kegiatan pendidikan, kesehatan, dan sosial mengalami peningkatan 29,5%.
Jika dibandingkan dengan kuartal IV-2019 jumlah pernyataan pailit dalam 3 bulan terakhir 2022 tinggi di sebagian besar sektor ekonomi.
Salah satu perusahaan gas besar di Eropa yakni Uniper, salah satu perusahaan energi Fortum milik Finlandia yang bangkrut karena terhentinya pasokan gas dari Rusia dan harus memenuhi kewajibannya kepada pelanggan dengan membeli gas di pasar bebas dengan harga yang tinggi.
Karena terkait kontrak, Uniper diketahui tak bisa menaikkan harga jual gasnya kepada pelanggan. Dan mengalami kerugian 100 juta euro setiap harinya.
Negeri Tirai Bambu
Beralih China yang beberapa waktu terakhir sempat tertekan akibat pandemi Covid-19 yang masih berkutat di negara tersebut. Akhir-akhir ini akhirnya membawa kabar bahagia di mana sejumlah pakar ekonomi dari Dana Moneter Internasional (IMF) optimis terkait prospek pertumbuhan ekonomi China tahun ini.
Dalam laporan World Economic Outlook ekonomi China diperkirakan bakal tumbuh sebesar 5,2% pada 2023 atau 0,8 poin persentase lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Kondisi terkini, pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2022 tercatat 3%, meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,5%. Adapun, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 tercatat sebesar 2,9% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Pertumbuhan tersebut turun dari realisasi pada kuartal sebelumnya sebesar 3,9% yoy, namun jauh di atas ekspektasi dan konsensus para analis sebesar 1,8% yoy.
Pertumbuhan ekonomi yang melampaui ekspektasi itu terjadi di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Negeri Tirai Bambu sejak akhir tahun lalu. Adapun, pemerintah telah melonggarkan kebijakan pengetatannya Sejak Desember 2022.
Saat ini, IMF juga memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi China bahkan mencapai 4,5% pada tahun depan dan China diramal akan terus menjadi salah satu negara besar uang bisa membukukan pertumbuhan terkuat tahun ini.
Dampak dari tekanan ekonomi China ini adalah meruginya perusahaan bahkan tutup di beberapa negara. Salah satunya, yang tengah ramai diperbincangkan yakni JD.Com yang merupakan raksasa teknologi China mundur dari Indonesia dan Thailand.
Tutupnya JD.com di 2 negara ini menandakan raksasa teknologi China ini tak mampu bersaing di dunia e-commerce di Asia Tenggara di tengah tekanan ekonomi global. Sebagai Informasi, JD.ID, yang berdiri sejak November 2015 itu mengumumkan menutup layanan 31 Maret 2023 dan 15 Februari 2023 menyetop pesanan. Tak heran, dari penutupan ini JD.com mengancam memecat pejabat eksekutif dan karyawan.
Selain itu, tekanan ekonomi global ini membawa kejatuhan bagi sektor properti yang menjadi sektor terbesar negara itu sedang sekarat-sekaratnya.
Melansir dari Financial Times, kejatuhan sektor properti dimulai dari gonjang-ganjing permasalahan pengembang properti ternama China Evergrande setahun lalu. Saat itu, utang perusahaan tersebut sudah jatuh tempo.
Bahkan, 'penyakit' utang itu juga menular ke perusahaan properti lainnya di China. Akibatnya, masalah tersebut menjadi beban ekonomi China dan menghambat pertumbuhan ekonomi negara itu juga.
Permasalahan utama Evergrande adalah dari utang dan bunga yang membengkak. Ternyata selama ini mereka menutupi biaya operasional dari utang. Dengan total utang sebesar itu, Evergrande pun mendapat reputasi buruk dan di cap sebagai pengembang China yang paling banyak berutang di dunia.
Sebagai catatan, anjloknya ekonomi AS, Eropa dan China dikhawatirkan membuat perekonomian banyak negara berkembang melandai. Permintaan ekspor pun akan melemah dan harga komoditas akan jeblok.
Ini juga bakal menekan pertumbuhan global, perdagangan internasional, hingga harga komoditas. Ekspor Indonesia pun akan ikut tertekan sehingga surplus menyusut. Jika kondisi ini berlanjut maka transaksi berjalan Indonesia akan menyusut.
Tekanan ekonomi di AS akibat suku buka juga turut mempengaruhi nilai tukar rupiah. Saat terjadi capital outflow maka risiko depresiasi rupiah kian meningkat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! Sri Mulyani Sebut Dunia Bakal Hadapi 'Krisis Langka'