Kereta Cepat Awalnya Murah Jadi Mahal, Jebakan Betmen China?
Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dimulai sejak 2015 silam menuai berbagai konflik lantaran biaya yang kian hari kian membengkak.
Terbaru, Indonesia dan China baru saja menyepakati besaran pembengkakan biaya proyek ini sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,2 triliun. Lebih rendah dari taksiran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mencapai US$1,4 miliar.
Awalnya China merinci dana sebesar US$ 5,13 miliar atau Rp 76 triliun pada proposal awal, tetapi perlahan berubah menjadi US$ 6,071 miliar lalu melonjak lagi jadi US$ 7,5 miliar atau setara Rp 117,75 triliun (kurs Rp 15.700).
Untuk menambal pembengkakan biaya itu, baik Indonesia maupun China menanggung beban masing-masing 60 dan 40 persen. Di mana Indonesia akan kebagian beban sekitar US$597 juta. Kini, pemerintah tengah berusaha mencari utangan kepada China Development Bank.
"Kita ini harus pro kepada transportasi massal. Hati-hati, jangan pro pada kendaraan pribadi. Meski ini di IIMS (Indonesia International Motor Show), pro pada transportasi massal," kata Jokowi kepada wartawan, usai membuka penyelenggaraan IIMS 2023 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, dikutip Sabtu (18/2/2023).
"MRT, LRT, kereta api, kereta api cepat menjadi sebuah keharusan bagi kota besar agar moda transportasi terintegrasi di dalam kota maupun dari kota ke kota, sehingga orang tidak cenderung mobil pribadi," tambah Jokowi.
Di lain sisi, Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi sempat menyampaikan, bengkak biaya proyek KCJB adalah US$ 1,449 miliar atau Rp 22,7 triliun. Data tersebut berdasarkan laporan BPKP per 15 September 2022.
Perubahan ini membuat Indonesia-China negosiasi ulang soal penambahan pembengkakan biaya. Akhirnya, pada Senin (13/2/2023) keduanya sepakat bahwa pembengkakan biaya 'hanya' US$ 1,2 miliar atau Rp 18 triliun, atau turun dari hitungan Indonesia yang sampai US$ 1,449 miliar.
Meski demikian untuk menambal kekurangan Indonesia mengajukan hutang ke Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 550 juta atau Rp 8,3 triliun. Uluran tangan APBN yang menambahkan Rp 3 triliun tak cukup.
Lantas faktor apa saja yang membuat pembiayaan KCJB membengkak?
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China Dwiyana menjelaskan pembengkakan biaya paling besar berasal dari eskalasi harga atau adjustment for change in cost sebesar US$ 401 juta atau mencapai 27,8% dari porsi pembengkakan biaya.
"Paling besar di change in cost, penyesuaian harga untuk komponen lokal yang disebabkan kenaikan atau penurunan upah pekerja, harga barang dan biaya lainnya yang diatur dalam kontrak," jelas Dwiyana dalam Rapat Dengar Pendapat, dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (9/11/2022).
Komponen kedua terbesar adalah financing cost, adalah biaya yang diperlukan dalam pemenuhan atau bunga pinjaman kepada China Development Bank senilai US$ 373 juta atau mencapai 25,8% dari porsi pembengkakan.
ketiga adalah dampak pajak pajak atas pengadaan lahan, senilai US$ 157 juta atau mencapai 10,83% dari total porsi pembengkakan. Ini adalah implikasi perpajakan atas transaksi pinjaman dan skema pembelian tanah.
Pada titik inilah Indonesia seolah kena prank. Sebab, proyek yang dijanjikan bakal murah, tetapi kini harganya malah selangit kenyataannya kini, karena faktor-faktor di atas tadi.
(dce)