Bahlil Blak-blakan Soal Nasib Hilirisasi Nikel RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia membeberkan kondisi terkini dan rencana hilirisasi nikel di Indonesia.
Seperti diketahui, sejak larangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, hilirisasi nikel sudah semakin maju. Namun, di sisi lain, menurutnya hilirisasi komoditas nikel ini masih memiliki berbagai kendala, salah satunya nilai tambah dari hilirisasi nikel masih banyak yang baru mencapai 40%.
Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong agar nilai tambah hilirisasi nikel bisa meningkat, setidaknya naik menjadi 80%.
"Produk (hilirisasi nikel) akhirnya harus sudah sampai 70%, sampai 80%," ungkap Bahlil dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).
Selain itu, pihaknya juga akan mendorong penggunaan energi untuk proyek smelter nikel ini berbasis pada energi hijau, bukan lagi berbasis pada batu bara. Pasalnya, tren dunia saat ini mengarah pada transisi energi atau produk berbasis pada energi hijau. Bila proyek smelter di dalam negeri berbasis pada energi hijau, maka nantinya produk akhir dari smelter RI ini mampu bersaing dan menjadi rebutan dunia.
"Kita sekarang itu kan membangun sebagian kan baru 40% nilai tambahnya, mulai kita dorong, tetap tidak kita batasi (smelter nikel). Tetap kita bangun (smelter nikel) tapi memanfaatkan energi terbarukan," jelas Bahlil.
Untuk diketahui, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli pernah menyampaikan moratorium pembangunan smelter nikel baru perlu dilakukan.
Mengingat, dengan kapasitas terpasang smelter yang sudah beroperasi saat ini membutuhkan sekitar 135 juta ton pasokan bijih nikel, maka daya tahan cadangan nikel hanya sampai sekitar 9 tahun saja.
"Belum lagi smelter yang dalam tahap konstruksi sekitar 28 smelter yang membutuhkan bahan baku sekitar 92 juta ton per tahun," kata dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/1/2023).
Di sisi lain, ada 57 smelter masih dalam tahap perencanaan yang membutuhkan input bijih nikel sekitar 187 juta ton per tahun. Dengan demikian, total kebutuhan bijih nikel kadar 1,5% ke atas diperkirakan sekitar 415 juta ton per tahun.
"Dengan total cadangan yang ada saat ini sekitar 2,75 miliar ton (Ni > 1,5%), maka daya tahan cadangan mengkhawatirkan," katanya.
Setidaknya, hanya beberapa perusahaan saja yang nantinya akan bisa bertahan karena memiliki cadangan yang besar untuk menghidupi smelternya. Oleh sebab itu, perlu langkah untuk mengaktifkan eksplorasi lanjutan baik untuk menemukan cadangan baru maupun mengkonversi sumber daya menjadi cadangan.
Di lain sisi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan pentingnya hilirisasi tambang untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Adapun salah satu pendorong berkembangnya industri hilir tambang, salah satunya nikel.
Jokowi sempat menyebut, dari yang sebelumnya nilai tambah RI hanya berkisar Rp 17 triliun per tahun, namun setelah hilirisasi berkembang, nilai tambah meningkat menjadi Rp 360-an triliun pada tahun 2021.
Pada 2022 bahkan nilai tambah dari komoditas nikel semakin meningkat menjadi sebesar US$ 33 miliar atau sekitar Rp 514 triliun. Dan pada 2023 ini nilai tambah dari industri nikel diperkirakan bisa semakin meningkat lagi hingga US$ 38 miliar atau Rp 592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$).
(wia)