
Pak Jokowi, Sektor Ini Perlu Perubahan Kebijakan yang Radikal

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia perlu merombak kebijakan untuk menggaet investor dalam menggarap potensi minyak bumi di dalam negeri. Pasalnya, semakin banyak negara yang menawarkan keuntungan yang lebih besar kepada investor untuk menggarap potensi minyak bumi di berbagai negara.
Praktisi Minyak dan Gas Bumi (Migas), Hadi Ismoyo mengatakan perlu ada perbaikan insentif dari sisi insentif dan pajak yang mana nantinya mungkin bisa lebih menarik investor untuk berinvestasi minyak dalam negeri. Dia menilai, iklim investasi di luar negeri tampaknya lebih menggiurkan dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh Indonesia.
"Dengan tidak mengurangi rasa hormat, bahwa sebetulnya pemerintah sudah melakukan hal yang bagus termasuk fiscal term saat ini boleh cost recovery, boleh gross split, tapi suasana competitiveness di luar negeri ini begitu besar. Sehingga hal-hal yang sudah baik harus lebih baik lagi termasuk sisi pajak sisi split harus baik lagi," ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam program 'Energy Corner', Senin (13/2/2023).
Hadi menyebutkan perbaikan bisa dimulai dari pembagian antara kontraktor dengan pemerintah yang sangat timpang. Dia mengatakan saat ini, pembagian hasil atau gross split antara kontraktor dengan pemerintah sebesar 15:85.
Dengan begitu dia mengatakan bahwa seharusnya pembagian keuntungan tersebut dibalik menjadi 85% untuk kontraktor, sedangkan Indonesia mendapatkan bagian 15%. Hal itu disebabkan tingkat risiko yang sangat tinggi dalam menggarap potensi minyak di Indonesia juga disertai cadangan yang melimpah pula.
"Perbaikannya seperti ini, split yang dulu biasanya standar 15% untuk kontraktor, 85% untuk negara. Kalo perlu dibalik, 85% untuk kontraktor 15% untuk negara, karena mission baru itu risikonya sangat tinggi, reserve sangat tinggi," pungkasnya.
Selain itu, hal yang perlu dibenahi juga terdapat pada penetapan besaran pajak yang diterima oleh negara. Hadi menyarankan agar pajak yang diberlakukan sekarang sebesar 44%, sebaiknya diturunkan menjadi hanya 25%-30%.
"Tax juga begitu yang dulu 44%, kalo perlu cuma 30% atau 25%. Kita harus berpikir strategis bahwa sekarang kita dalam kondisi krisis sekarang ini. Impor crude kita besar sekali. Jadi kita harus ada sense of crisis, bahwa kita harus meyakinkan investor besar untuk kembali ke Indonesia dari sisi tax dan split tadi," tandas Hadi.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal memfokuskan pengembangan eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) di area Warim, Papua dan Seram, Maluku. Pasalnya, kedua area ini mempunyai potensi migas yang cukup besar untuk dikembangkan.
Berdasarkan bahan paparan Kementerian ESDM, Blok Seram disebut memiliki potensi minyak sebesar 7,596 miliar barel dan gas sebesar 13,69 triliun kaki kubik (TCF). Sementara area Warim menyimpan potensi minyak 25,968 miliar barel dan gas bumi 47,37 TCF.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut bahwa area Warim menyimpan potensi migas yang cukup besar untuk dikembangkan. Namun demikian, pengembangannya terganjal lantaran area migas yang berlokasi di wilayah perbatasan dengan Papua Nugini tersebut berada di dalam area hutan nasional lorentz.
"Warim gede, cuma kan masih kita harus selesaikan, bisa gak kita upayakan, karena kalau Warim ini bisa kita kembangkan luar biasa Indonesia ini," ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (10/2/2023).
Eksplorasi dua wilayah kerja "raksasa" ini diperlukan, mengingat cadangan minyak di RI diperkirakan bakal habis 9-10 tahun lagi.
Menurut Arifin, saat ini pemerintah telah memetakan potensi area minyak dan gas bumi (migas) yang mempunyai prospek cukup bagus. Setidaknya masih terdapat 6-7 area baru yang berpotensi dapat dikembangkan untuk peningkatan produksi migas nasional.
"Kalau kita gak punya yang baru dengan konsumsi yang sekarang ya 9-10 tahun, tapi kita juga masih punya kurang lebih 6-7 potensi area baru yang bisa kita kembangin dan ini bisa juga meningkatkan kita punya," ujarnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Banjir Cuan, Kinerja Pertamina Meroket 86% di 2022