
Oversupply Listrik Bisa Bikin Rugi, Pemerintah Lepas Tangan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sampai saat ini masih menghadapi kondisi kelebihan pasokan listrik atau oversupply hingga 6 Giga Watt (GW). Kondisi tersebut terjadi karena masih rendahnya permintaan listrik sejak pandemi Covid-19, sementara pasokan listrik terus bertambah.
Kondisi kelebihan pasokan listrik ini bisa menjadi masalah, termasuk merugikan negara, karena setiap kelebihan pasokan listrik sekitar 1.000 Mega Watt (MW) atau 1 Giga Watt (GW), PT PLN (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor kelistrikan bisa merugi Rp 3 triliun.
Kerugian PLN tentunya bisa berpengaruh terhadap negara, selain PLN sebagai BUMN yang harus mengejar keuntungan, PLN juga masih terikat subsidi listrik yang anggarannya juga berasal dari pemerintah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sempat mengatakan, kondisi kelebihan pasokan listrik yang saat ini terjadi berpotensi membuat PLN tekor triliunan rupiah. Hal tersebut karena adanya ketentuan Take or Pay dalam kontrak jual beli listrik antara PLN dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).
Ketentuan Take or Pay ini maksudnya, PLN harus mengambil semua pasokan listrik terkontrak atau membayar denda kepada produsen listrik bila tidak mengambil listrik sesuai dengan volume terkontrak.
"Dengan adanya ini, jika PLN tidak bisa menyerap dan menurut keterangan PLN untuk setiap 1 Giga Watt (GW) beban finansial yang harus dibayar PLN mencapai Rp 3 triliun. Ini yang saya kira menjadi isu," kata dia dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (6/2/2023).
Lantas, bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut? Apakah pemerintah akan intervensi untuk bisa mengubah skema kontrak jual beli listrik antara PLN dan IPP?
Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengakui, skema Take or Pay (ToP) memang harus dievaluasi. Namun, menurutnya pemerintah sulit untuk melakukan intervensi karena hal tersebut merupakan kewenangan antar perusahaan atau Business to Business (B to B) antara PLN dan IPP.
"Idealnya memang demikian (evaluasi skema ToP), ToP ini perlu dilihat lagi, dan ini kan basisnya kontrak sehingga sulit untuk diintervensi oleh pemerintah," ungkap Dadan kepada CNBC Indonesia, Kamis (9/2/2023).
Dia mengatakan, sejauh ini PLN sudah melakukan berbagai upaya untuk menekan porsi denda yang harus dibayar karena oversupply listrik dalam negeri. Dadan menyebutkan, PLN sudah menunda jadwal operasi atau Commercial Operation Date (COD) sejumlah pembangkit listrik milik IPP.
"Setahu saya, PLN melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi dampak ToP saat ini, misalkan dengan memundurkan COD," tambahnya.
Oleh karena itu, dia kembali menegaskan bahwa pihaknya sulit untuk mengintervensi ketentuan Take or Pay tersebut.
"ToP ini skema B to B, pemerintah tidak bisa intervensi," tegasnya.
Di sisi lain, PT PLN (Persero) mengungkapkan bahwa pihaknya berhasil mengurangi beban dari kelebihan listrik atau oversupply listrik hingga mencapai lebih dari Rp 40-an triliun. Pengurangan beban kelebihan listrik itu dilakukan oleh PLN dari berbagai sisi.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan bahwa pihaknya berhasil mengurangi biaya yang harus dibayar atas kelebihan listrik tersebut sebagai biaya Take or Pay hingga lebih dari Rp 40 triliun.
Dia menyebutkan PLN telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi beban keuangan ini, antara lain dengan melakukan pengurangan kontrak proyek listrik untuk mengurangi beban ToP, dan juga merenegosiasi kontrak.
"Sebagian bisa kita batalkan (tender proyek), kita kurangi, kemudian kita undur, kontraknya kita kurangi, yang kita sebut sebagai renegosiasi. Di mana, kami berhasil mengurangi beban Take or Pay Rp 40 sekian triliun," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (8/2/2023).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ternyata Ini Biang Kerok Listrik RI Banyak Nganggur