Skema ToP Listrik Bakal Dihapus? Pemerintah: Idealnya Begitu

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
09 February 2023 13:10
Petugas PLN melakukan perawatan menara listrik di kawasan Gardu Induk Karet Lama, Jakarta, Rabu (10/1/2018).
Foto: CNBC Indonesia/ Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) rupanya menginginkan bahwa skema Take or Pay (ToP) dalam perjanjian penjualan listrik oleh PT PLN (Persero) dan pengembang listrik untuk dilakukan evaluasi.

Sebagaimana diketahui, skema ToP ini mewajibkan PLN membeli listrik sesuai dengan kontrak. Jadi, walaupun kondisi kelistrikan PLN mengalami kelebihan atau over suplai, PLN masih wajib membeli listrik tersebut.

Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengungkapkan penghapusan skema ToP dinilai ideal karena skema tersebut berbasis kontrak antar perusahaan sehingga sulit untuk diintervensi oleh pemerintah.

"Idealnya memang demikian (evaluasi skema ToP), ToP ini perlu dilihat lagi, dan ini kan basisnya kontrak sehingga sulit untuk diintervensi oleh Pemerintah," ungkap Dadan kepada CNBC Indonesia, Kamis (9/2/2023).

Indonesia sampai sekarang tengah menghadapi kondisi kelebihan pasokan listrik atau over supply hingga 6 Giga Watt (GW) Kondisi tersebut terjadi lantaran adanya ketidaksesuaian antara proyeksi permintaan listrik dan realisasi yang ada saat ini.

Atas kondisi over suplai listrik ini, mengacu pada data Kementerian ESDM, jumlah yang harus dibayar oleh PLN sebagai perusahaan listrik dalam negeri, bisa mencapai Rp 3,5 triliun untuk setiap 1.000 Mega Watt (MW) atau 1 GW per tahunnya.

Adanya kelebihan pasokan listrik yang ada di Indonesia itu, PLN harus membayar karena skema ToP. Skema ini berlaku bagi listrik yang terpakai atau tidak terpakai, maka ada porsi yang harus dibayar. Yang mana, porsi itu diperuntukkan sebagai pembagian investasi.

Namun disayangkan, Kementerian ESDM sebagai pihak pemerintah tidak bisa melakukan intervensi. Hal itu dikarenakan skema ToP tersebut merupakan kewenangan antar perusahaan atau Business to Business (B to B).

"ToP ini skema B to B, pemerintah tidak bisa intervensi," tegas Dadan.

Yang pasti, Dadan mengungkapkan PLN sudah berupaya memundurkan Commercial Operation Date (COD) pembakit listrik milik perusahaan listrik swasta atau Independen Power Producer (IPP). "Setahu saya, PLN melakukan berbagai upaya untuk meminimasi dampak ToP saat ini, misalkan dengan memundurkan COD," tandasnya.

Ini Biang Kerok Listrik RI Over Suplai

Sebelumnya, Dirut PLN Darmawan Prasodjo juga menyatakan, kelebihan pasokan listrik ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satunya karena asumsi pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan ternyata tidak sesuai prediksi awal.

Menurut Darmawan, pertumbuhan listrik di Jawa pada tahun 2014-2015 diperkirakan tumbuh sekitar 7-8%. Angka tersebut berbasis pada asumsi pertumbuhan ekonomi pada saat itu yang diperkirakan dapat mencapai sekitar 6,1%.

Di samping itu, terdapat korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan permintaan listrik pada saat itu. Dimana ketika ada pertumbuhan ekonomi 1% maka pertumbuhan permintaan listrik di proyeksi mencapai 1,3%.

"Jadi pada saat pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi dan pariwisata, ternyata korelasinya bergeser bukan 1,3% tapi turun menjadi 0,86% atau 0,9%. Artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi pertumbuhan demand listrik yang tinggi," ujar Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (8/2/2023).

Namun demikian, menurut Darmawan apabila pertumbuhan ekonomi basisnya adalah industri, maka korelasinya, permintaan listrik akan naik. Sementara selama lima tahun belakangan ini, permintaan listrik di pulau Jawa korelasinya turun dari 1,3% menjadi 0,87%.

"Jadi kalau 1% pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan demandnya hanya 0,86%. Kemudian pertumbuhan ekonomi terkoreksi dari 6,1% rata-rata menjadi 5,1%. Untuk itu selama 5 tahun, pertumbuhan demand listrik yang diproyeksikan sekitar 8% di Jawa tumbuhnya rata-rata hanya 4,6% selama 5 tahun 2015-2019," kata dia.

Lebih lanjut, Darmawan mengatakan dengan menggunakan asumsi di tahun 2015, seharusnya konsumsi listrik saat ini adalah sebesar 380 terawatt hour (TWh). Sedangkan realisasi konsumsi listrik hingga saat ini baru mencapai 283 TWh.

"Jadi ada 100 Twh di bawah dari yang direncanakan. Itulah bahwa pada waktu itu apakah asumsinya itu sudah sesuai dengan harapan ternyata bergeser. Kemudian korelasi pertumbuhan demand listrik dengan pertumbuhan ekonomi bergeser," kata dia.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 11.819 Keluarga Terima Program Sambung Listrik Gratis PLN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular