
Pak Jokowi, Ini Alasan Bank Dalam Negeri Ogah Biayai Smelter

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah bertitah kepada perbankan dalam negeri untuk turut berkontribusi memberikan kredit atau pinjaman untuk pembangunan proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri.
Pasalnya, pembangunan smelter merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendorong hilirisasi komoditas tambang di dalam negeri dan bisa menjadi lompatan bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju.
"Saya titip agar bank-bank ngawalin. Caranya kalau ada orang kredit bikin smelter diberi. Apalagi orang kita sendiri, jangan dipersulit. Untungnya jelas untuk negara dan perusahaan apa yang dipertanyakan lagi," kata Jokowi dalam acara Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (01/02/2023).
Lantas, mengapa selama ini perbankan dalam negeri tidak membiayai proyek smelter, hingga Presiden harus bertitah seperti itu? Apa masalahnya?
Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani, turut buka suara terkait hal ini. Aviliani mengatakan, sulitnya pemberian kredit dari perbankan dalam negeri untuk proyek smelter karena sejumlah faktor, salah satunya kebijakan pemerintah yang berubah-ubah.
Aviliani menyinggung soal kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang sempat diberlakukan pada 2014 lalu, namun pada 2017 pemerintah melakukan relaksasi dengan mengizinkan kembali ekspor mineral mentah, walau pada akhirnya pada 2020 pemerintah telah melarang kembali ekspor bijih nikel.
Adanya perubahan kebijakan ekspor, di mana pada 2017 pemerintah melakukan relaksasi ekspor mineral mentah, dia menyebut kebijakan ini justru membuat pembangunan smelter di Indonesia menjadi mangkrak.
"Di zaman Presiden SBY itu sebenarnya banyak bank sudah membiayai smelter. Nah pada saat itu sudah akhirnya membiayai cukup banyak, akhirnya ada kebijakan baru di mana yang tadinya tidak boleh ekspor (mineral mentah) dibolehin lagi, akhirnya smelternya mangkrak gitu," jelasnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (3/2/2023).
Dia melanjutkan, dengan banyaknya pembangunan smelter yang mangkrak pasca dibolehkannya kembali ekspor mineral mentah itu mengakibatkan para bank yang sudah membiayai pembangunan tersebut ikut tertimpa "kredit macet".
"Sekarang apabila (bank) disuruh membiayai lagi, sebenarnya perbankan bukan nggak mau, tapi kan melihat risk appetite dari masing-masing gitu ya. Mungkin sekarang mereka juga melihat jangan-jangan nanti yang sekarang nggak boleh ekspor, boleh lagi gitu," pungkasnya.
Selain itu, Aviliani beberkan alasan lain mengapa bank dalam negeri sukar untuk membiayai pembangunan smelter, yaitu adanya pertimbangan aspek kelingkunganan.
Dia menyebutkan, ada aspek ESG atau Environmental, Social, and Corporate Governance, yang harus dipenuhi sampai dengan tahun 2060. Perbankan juga diwajibkan untuk memberikan pembiayaan pada proyek yang berbasis ramah lingkungan.
"Sekarang kan eranya nanti salah satu ESG yang kita harus penuhi kan 2030 2060, itu harus kita penuhi gitu. Itu juga salah satu pertimbangan di mana perbankan di dalam PP 51 kan wajib juga kepada keuangan yang berbasis lingkungan gitu," tambahnya.
Tak sampai di situ, alasan lain sulitnya pembiayaan smelter oleh bank dalam negeri ini karena perbankan harus mengetahui seberapa besar potensi pasar untuk menjual hasil produk smelter tersebut. Dia menilai perbankan turut menghitung bagaimana potensi pasar nantinya, guna mencegah tak adanya pasar dari produk tersebut.
"Nah kita ini memang apakah ketika sudah menggunakan smelter, kita ada market apa nggak sih gitu. Kan kita harus lihat dulu potensi market jangan-jangan sudah ada smelter, potensi marketnya belum ada ya," ungkapnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) membeberkan alasan dibalik belum tuntasnya pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) bauksit di Indonesia. Hal tersebut ternyata dikarenakan investasi yang begitu besar, namun sulitnya investor yang mau masuk.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I, Ronald Sulistyanto menyatakan bahwa memang yang menjadi permasalahan utama dari belum rampungnya smelter bauksit di Indonesia adalah karena nilai investasi yang dinilai sangat besar.
Ronald klaim bahwa untuk mendirikan satu smelter bauksit diperlukan modal (Capital Expenditure/ Capex) hingga US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 18,2 triliun (asumsi kurs Rp 15.160 per US$). Sehingga dia menilai, investasi dalam pembuatan smelter ini agak berat.
"Saya kira investasi yang memang agak berat. Investasi ini maju mundur, sudah deal, mereka pergi lagi," tutur Ronald kepada CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Jumat (27/1/2023).
Adapun hal lain yang dihadapi para pengusaha bauksit adalah ketika sudah sepakat antara investor dan pengusaha untuk membangun smelter di Indonesia, namun tiba-tiba Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut.
"Ada beberapa hal seperti kami lah contohnya, kami sudah berusaha deal dengan investor, tiba-tiba IUP dicabut. Nah ini kan soal perizinan. Bagaimana mungkin, dia sudah deal tiba-tiba nggak ada (izin), mau kemana, mau apa dasar hukumnya? Nggak ada orang IUP-nya sudah dicabut," jelasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Smelter Freeport Tuntas, Jokowi Yakin Ekspor Melejit Rp448 T