Keuangan Ngenes, Raksasa Ritel Ini Tutup 237 Toko
Jakarta, CNBC Indonesia - Raksasa ritel Amerika Serikat (AS), , akan menutup 87 toko miliknya. Hal ini terjadi lantaran persoalan keuangan yang membelit perusahaan itu.
Penutupan ini merupakan tambahan dari 150 penutupan Bed Bath & Beyond yang diumumkan Agustus lalu. Tak hanya toko bernama Bed Bath and Beyond saja yang ditutup, beberapa toko anak usaha lainnya seperti Buybuy Baby dan Harmon Face Value juga mengalami penutupan.
"Saat kami terus bekerja dengan penasihat kami untuk mempertimbangkan berbagai jalur, kami menerapkan tindakan untuk mengelola bisnis kami seefisien mungkin," kata juru bicara Bed Bath and Beyond kepada CNN International, Jumat (3/2/2023).
"Pengurangan armada toko ini memperluas program penutupan perusahaan yang sedang berlangsung."
Seorang juru bicara perusahaan juga mengonfirmasi Rabu malam bahwa raksasa ritel itu melewatkan pembayaran obligasi pada 1 Februari, dan memasuki masa tenggang selama sebulan. Debitur biasanya memiliki masa tenggang 30 hari untuk melakukan pembayaran sebelum mereka dinyatakan gagal bayar.
"Kami berkomitmen untuk memperbarui semua pemangku kepentingan tentang rencana kami saat mereka mengembangkan dan menyelesaikannya," kata juru bicara itu.
Juru bicara tidak mengonfirmasi jumlah utang Bed Bath & Beyond. Namun, Wall Street Journal melaporkan Bed Bath and Beyond "gagal membayar lebih dari US$ 28 juta (Rp 416 miliar) untuk wesel tiga tahap dengan total sekitar US$ 1,2 miliar (Rp 17,8 miliar) yang jatuh tempo pada 1 Februari.
Didirikan pada 1971, Bed Bath & Beyond menjadi bahan pokok untuk dekorasi rumah, peralatan dapur, dan furniture kamar asrama perguruan tinggi yang terjangkau. Perusahaan itu menjadi dikenal di Amerika Utara dengan kupon diskon 20% di mana-mana, disertai layout toko yang besar dengan barang dagangan tertumpuk tinggi hingga ke langit-langit.
Bed Bath & Beyond menumbuhkan jejak perusahaannya secara agresif. Kesuksesan penjualan memuncak dengan kepemilikan 1.552 toko pada tahun 2017.
Tapi perusahaan itu kesulitan untuk melakukan transisi ke belanja online dan melawan jaringan yang lebih besar seperti Walmart dan Target. Pengecer itu mulai membuat potongan kecil pada tahun 2018 dan, pada tahun pertama pandemi, mulai menutup ratusan toko.
Pada Februari lalu, perusahaan memiliki 953 toko tersisa, dan telah mengumumkan rencana untuk menutup lebih dari 200 toko tambahan sejak saat itu.
Penutupan tersebut tidak hanya mengurangi jumlah karyawan dan biaya gaji, tetapi juga biaya sewa yang harus dibayar. Total kepemilikan toko perusahaan per meter persegi turun 36% dalam empat tahun fiskal yang berakhir pada Februari 2022.
(sef/sef)