Jokowi Tegas Nih! Eksportir Wajib Tahan Dolar 3 Bulan di RI

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Kamis, 26/01/2023 06:44 WIB
Foto: Penyerahan DIPA dan Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023, 1 Des 2022 (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memberikan kisi-kisi terbaru terkait dengan Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2019 tentang devisa hasil ekspor (DHE) yang hampir tuntas.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto salah satu poinnya adalah menahan DHE harus disimpan di sistem keuangan dalam negeri selama 3 bulan.

"Jadi kita bahas sekitar 3 bulan, nanti kita sedang bahas juga dengan BI dan lainnya," ungkap Airlangga Hartarto, saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Kamis (26/1/2023).


Seperti diketahui, kebijakan ini adalah upaya anyar pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengatasi kekeringan dolar Amerika Serikat (AS) di Tanah Air, ketika Indonesia dibanjiri ekspor dan investasi selama satu tahun kemarin. Sebagai catatan, ekspor Indonesia melejit selama 32 bulan terakhir, hingga neraca perdagangan mencetak surplus besar.

Disisi lain, investasi asing di Tanah Air mencetak nilai fantastis sepanjang 2022, yakni US$45,6 miliar atau Rp654,4 triliun pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 44,2% jika dibandingkan pada 2021 yang sebanyak US$31,09 miliar.

Airlangga berjanji implementasi aturan ini akan paling lama semester I-2023. Saat ini, finalisasi revisi masih berlangsung.

"Sedang disusun ijin prakarsanya untuk PP 1, insyaallah (semester I implementasi)," ujar Airlangga.

Dalam kondisi penuh ketidakpastian, menurutnya, semua negara kini berebut dolar AS. Bahkan beberapa perbankan di negara lain menawarkan bunga yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia.

"Seluruh dunia ini berebutan dollar, karena kita selama ini 31 bulan ekspornya positif terus kita harus mengelola gimana kebutuhan devisa asing itu tersedia di dalam negeri," kata Airlangga.

Sebelumnya, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan penyebab eksportir sering kabur membawa dolar atau devisa hasil ekspornya ke luar negeri.

Dia menitik beratkan masalah DHE ini pada masih lemahnya perbankan domestik di Indonesia untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di dalam negeri, misalnya untuk pembiayaan di sektor hilirisasi industri. Akibatnya, perbankan asing yang mayoritas membiayai sektor itu dengan dana-dana yang mereka miliki.

"Itu perdebatannya aku jujur saja sama kalian, perdebatannya ada. Kita ini mau DHE kita tinggi tapi perbankan kita enggak mau membiayai secara maksimal ke industri. Contohnya hilirisasi," kata Bahlil

Dia menjelaskan bahwa hilirisasi industri sebagian besar berasal dari pembiayaan bank-bank asing karena nilai ekuitasnya hanya membutuhkan porsi sebesar 10% dengan bunga yang kecil. Sementara itu, untuk perbankan domestik membutuhkan nilai ekuitas sebesar 30-40% sebelum mau membiayai proyek hilirisasinya.

"Bank di Republik Indonesia mau membiayai hiliriasi itu susahnya minta ampun. Bahkan mohon maaf equity-nya harus minimal 30-40%, dari mana uang sebanyak itu? bunganya besar pula," tutur Bahlil.

Alhasil, kata Bahlil, wajar saja ketika perusahaan tersebut memilih bank-bank asing untuk menaruh dolarnya. Ketika perusahaannya sudah berproduksi dan mulai melakukan ekspor, mereka mulai membayarkan kewajibannya ke perbankan di asing di luar negeri.

"Jadi wajar saja begitu orang ekspor dia harus menyelesaikan kewajibannya cicilan pokok tambah bunga atau mungkin dia membangun deal oke gue kasih lu pinjam duit, tapi hasil penjual you, you taruh di bank gue ya," ujarnya.

Dia mengemukakan solusi supaya devisa hasil ekspornya tidak melulu lari ke luar negeri, perbankan domestik harus mau membiayai berbagai proyek yang menjadi fokus investasi mereka. Apalagi, ia melanjutkan, keuntungan dari hasil investasi di sektor hiliriasi tidak lama, hanya 5-6 tahun.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Makin Tegang, Dolar AS Melemah-Harga Emas Menguat Tipis