'Kiamat Kecil' Pernah Ada di Ujung Jawa, Krakatau Pemicunya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) melaporkan bahwa Gunung Api Anak Krakatau di Selat Sunda, Banten kembali mengalami erupsi. Erupsi itu terjadi pada Senin (23/1/2022) dengan tinggi abu sekitar 300 meter di atas puncak. Krakatau punya jejak dahsyat soal ledakan besar seperti leluhurnya pada 1883 silam.
Kiamat Letusan Gunung
Sejak awal tahun 1883, penduduk pesisir Lampung dan Banten merasa ada yang berbeda dengan Rakata, gunung yang berada di Selat Sunda itu. Dari sana, kerap terdengar suara gemuruh. Hewan-hewan di sekitar gunung juga kadang menunjukkan ketidaknormalan. Mereka seakan tidak tenang. Intinya ada yang berbeda terhadap gunung yang sudah ada sejak ribuan tahun tersebut. Anomali ini berlangsung selama berbulan-bulan.
"Namun, kode alam ini diabaikan oleh penduduk sekitar. Akibatnya, mereka tidak menyadari bahwa bencana akan datang," tulis Budi Gustaman dalam "Binatang-Binatang di Sekitar Letusan Krakatau" (Jurnal Sejarah, 2019).
Minggu malam, 26 Agustus 1883, penduduk Anyer tidak bisa tidur. Bisingnya suara guntur dan halilintar dari Rakata atau Krakatau mengusik mereka dari ketenangan malam. Pada saat bersamaan, hubungan telegram Anyer-Batavia tiba-tiba putus, sehingga mereka tidak bisa melaporkan keanehan ini. Namun, pukul 10.30 seluruh suara itu seketika mereda. Mereka akhirnya dapat tidur pulas hingga esok hari.
Senin, 27 Agustus 1883 pukul 6.00, mereka akhirnya bangun dari tidur singkatnya itu. Setelahnya, masyarakat melakukan aktivitas seperti biasa. Ada yang mencuci baju, mandi, pergi kerja, atau bersenda gurau. Tidak sedikit pula yang membicarakan suara misterius kemarin malam.
Tiga puluh menit kemudian, ketika sedang asyik beraktivitas, mereka dikejutkan oleh ledakan besar diikuti banjir dari lautan. Gelombang tinggi mendadak menerjang kehidupan pesisir tanpa mereka ketahui. Dalam sekejap, Anyer rata dengan tanah. Hanya sedikit penghuni yang lari tunggang-langgang. Semuanya serba mendadak.
Pada waktu yang sama, di Batavia yang berjarak 160 km dari Krakatau, mereka juga dikejutkan oleh suara ledakan dahsyat. Suara itu membuat jantung warga hampir copot. Mereka langsung berlutut ke tanah dan menekan telinga agar gendangnya tidak pecah. Pintu dan jendela bangunan terhempas.
Mereka semakin panik karena langit yang biru berubah menjadi gelap. Partikel debu yang tebal berhasil menutup sinar matahari pagi. Nafas menjadi sesak. Di tengah kepanikan itu, bola-bola api terlihat di langit Batavia. Langit Batavia berubah-ubah warga, dari merah, hitam, biru, sampai hijau. Persis seperti petasan tahun baru. Mereka pikir itu adalah kiamat. Akhir zaman telah tiba.
"Orang-orang pribumi di pusat kota, sambil jongkok di depan rumah-rumah mereka, menunggu dengan tenang peristiwa ini selesai sendiri," tulis R.A van Sandick dalam in het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau en hare gevolgen, dikutip Radolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2006).
Terbesar di Era Modern
Ledakan besar tanggal 26-27 Agustus 1883 menghancurkan gunung purba bernama Krakatau. Dikabarkan, suara ledakan terdengar sampai Kepulauan Mauritius dan Sydney yang berjarak 4800 km. Tsunami juga menjalar hingga Afrika Selatan dan Australia. Seluruh bangunan di pesisir pantai hancur dengan tanah. Jalur perdagangan global terganggu. Tercatat ada ribuan korban jiwa atas peristiwa ini.
"Banyak orang Eropa, termasuk sejumlah besar pejabat Belanda, dan beribu-ribu penduduk pribumi tewas tenggelam," lapor AP Cameron, yang ketika letusan terjadi menjadi Konsul Inggris di Jakarta, seperti dicatat Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 (2003). Di distrik Caringin setidaknya 10 ribu orang tewas karena letusan itu.
Berhentinya amukan Krakatau adalah awal dari malapetaka yang lebih besar. Muntahan hujan abu membuat hari-hari setelahnya menjadi kelam. Matahari gagal menampakkan sinar karena tertutup abu yang tebal. Akibatnya, suhu iklim global turun hingga 7 derajat celcius. Aktivitas masyarakat global cukup terhenti. Ini kedua kalinya umat manusia mengalami hal ini setelah terakhir letusan Tambora pada 1815.
Lalu, bagaimana aktivitas masyarakat Sumatera dan Jawa? berhenti total.
Ada sekitar 70 ribu korban jiwa atas kejadian ini. Tidak terhitung berapa yang luka, baik ringan atau berat. Bahkan, di dua wilayah itu terjadi penurunan populasi drastis. Permasalahan kian parah ketika sumber kehidupan tak kunjung membaik.
Debu masih melayang-layang di udara. Sang Surya tak berhasil menembus tebalnya debu. Ketika hujan, bukan air bersih didapat, tetapi air kotor. Akibatnya, seluruh makhluk hidup dibuat mati secara perlahan. Tanaman tidak dapat tumbuh yang berakibat menurunnya pasokan pangan. Hewan dan manusia perlahan mati kelaparan. Kematian ini memunculkan wabah penyakit.
Situasi bertahan hingga tiga tahun kemudian. Setelahnya, kehidupan kembali norma. Fajar baru menyingsing mengiringi semangat warga Lampung dan Banten.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
