Mimpi RI Mau Jadi Raja Baterai Mobil Listrik, Nikelnya Cukup?

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Kamis, 19/01/2023 17:10 WIB
Foto: Ilustrasi baterai pada mobil listrik (Dokumentasi electrec.co)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Rizal Kasli memproyeksikan cadangan nikel di Indonesia tidak akan cukup dalam jangka panjang. Hal tersebut melihat penambangan nikel yang kian agresif dalam mendukung hilirisasi di Indonesia.



Seperti diketahui, nikel merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan baterai kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia. Seiring dengan cita-cita Indonesia yang ingin menjadi "Raja baterai EV" di dunia dengan sumber nikel yang melimpah. Ternyata dalam jangka panjang, cadangan nikel juga diproyeksikan akan sirna.

Rizal mengatakan, pemerintah perlu mendorong upaya dalam memperpanjang umur pertambangan nikel. Hal tersebut bisa dilakukan dengan kegiatan eksplorasi dalam menemukan lokasi cadangan nikel lainnya di Indonesia.

Selain itu, Rizal juga menyarankan agar pemerintah bisa mengkonversi sumber daya nikel menjadi cadangan di Indonesia.

"Kita harus melakukan kegiatan eksplorasi yang lebih agresif baik untuk mendapatkan cadangan baru, lokasi baru maupun untuk mengkonversi sumber daya menjadi cadangan. Ini salah satu yang bisa kita lakukan untuk memperpanjang umur tambang," ujar Rizal kepada CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Kamis (19/1/2023).

Namun begitu, dia juga mengatakan bahwa perusahaan pertambangan nikel yang besar di Indonesia terhitung aman dan bisa mencukupi cadangan mereka dalam 30 tahun mendatang.

"Memang beberapa perusahaan tambang nikel yang besar, mereka aman karena memang cadangan itu sudah mencukupi untuk di atas 30 tahun ke depan," ungkapnya.

Adapun Rizal juga menyarankan agar pemerintah segera menerbitkan moratorium pembangunan pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Indonesia. Hal tersebut menimbang Indonesia yang semakin masif dalam hilirisasi nikel namun tidak dibatasi penambangannya.

Dalam jangka panjang, cadangan nikel di Indonesia tidak bisa mencukupi kebutuhan hilirisasi dalam negeri lagi. Dia mengatakan kebutuhan bijih nikel dalam setahun bisa mencapai 400 juta ton. Rizal menyebutkan, pemerintah sudah saatnya melakukan moratorium untuk pembangunan smelter dengan teknologi fero metalurgi yang berbasis energi terbarukan.

"Memang sudah saatnya kita melakukan moratorium untuk pembangunan smelter dengan teknologi fero metalurgi. Apakah itu yang berbasis energi dari fossil fuel atau dari sumber energi yang terbarukan. Karena memang cadangannya tidak mencukupi untuk jangka panjang," tuturnya.

Selain itu, permasalahan kelestarian lingkungan juga perlu menjadi pertimbangan pemerintah. Rizal mengatakan semakin masifnya pembangunan smelter di dalam negeri dikhawatirkan bisa merusak lingkungan. Dia klaim sudah ada kerusakan lingkungan akibat operasi smelter nikel yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.

"Dengan masifnya smelter nikel di Indonesia yang harus dikhawatirkan adalah masalah lingkungan. Kalau kita terlalu berambisi kemudian mengeruk bijih nikel secara masif untuk memenuhi kebutuhan nikel yang cukup banyak, ini saya khawatir kita akan juga mengabaikan kelestarian lingkungan dan ini sudah terjadi di beberapa daerah," tegasnya.



(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ahli UGM Sebut Kerugian Tambang Raja Ampat Lampaui Kasus Timah