Tsunami Aceh 26 Desember 2004, Tanah Rencong Pun Luluh Lantak

Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia
26 December 2022 17:55
FILE - Dalam file foto 29 Desember 2004 ini, seorang pria Aceh berjalan melalui puing-puing di dekat Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, sekitar 240 kilometer (150 mil) dari pusat gempa, Indonesia. Ketika tsunami dahsyat menghantam kota Indonesia ini, satu-satunya bangunan yang masih berdiri di banyak lingkungan adalah masjid. (Dok. File - AP Photo/Dita Alangkara, File)
Foto: Dalam file foto 29 Desember 2004 ini, seorang pria Aceh berjalan melalui puing-puing di dekat Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Aceh (AP/Dita Alangkara)

Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat Aceh hari ini memperingati 18 tahun tsunami yang meluluhlantakkan Tanah Rencong. Peringatan diawali dengan suara sirine meraung-raung tepat pukul 08.00 WIB.



Seperti dikutip dari detik.com, sirine berbunyi kencang selama satu menit pada Senin (26/12/2022) pagi. Suara sirine tersebut terdengar di hampir seluruh kawasan di Banda Aceh.

Sirine dibunyikan dari fasilitas umum yang ada di ibu kota provinsi Aceh. Suara sirine selama satu menit itu untuk mengenang detik-detik tsunami dan merefleksikan bencana tersebut.

Puncak peringatan 18 tahun tsunami berlangsung di kuburan massal, Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Peringatan tahun ini mengusung tema 'Bangkit Lebih Kuat, Bangun Budaya Sadar Bencana'.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal mengatakan, lokasi peringatan tsunami kali ini sengaja dipilih di kuburan massal tempat 40 ribu korban dimakamkan. Di sana, masyarakat dapat sekalian berziarah dan mengikuti rangkaian peringatan musibah yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam.

"Setiap peringatan tsunami, banyak sekali ditemui peziarah berbeda suku, agama dan budaya yang membaur di Kuburan Massal Tsunami Siron untuk mendoakan keluarga dan kerabatnya," kata Almuniza.

Dia berharap, momentum peringatan tsunami menjadi renungan bagi masyarakat Aceh sebagai media pembelajaran dan memperkuat keimanan kepada Allah SWT.

"Kita juga harus sadar terhadap fenomena alam dan mengajarkannya kepada generasi mendatang, karena mencegah bencana alam tentu tidak bisa, tapi mengurangi risikonya pasti bisa kita lakukan bersama-sama dengan semangat berkolaborasi," pungkasnya

Peringatan diisi dengan tausiah dan doa bersama yang dipimpin Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab. Sedangkan zikir dan selawat akan dipandu oleh Pimpinan Pesantren Darul Mujahiddin Lhokseumawe, Tgk Muslim At Thahiri.

Memori 26 Desember 2004
Awalnya tidak ada yang berbeda dari kehidupan masyarakat Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Mereka menjalani akhir pekan seperti biasa: berlibur dan berkumpul bersama keluarga.

Tidak sedikit pula umat kristiani di sekitar Aceh yang masih merayakan natal. Namun, itu semua berubah ketika jam menunjukkan pukul 7.58 Waktu Indonesia Barat.

Tiba-tiba terjadi gempa bumi. Seluruh benda yang berada di atas permukaan tanah bergoyang hebat. Masyarakat lantas berhamburan mencari tempat perlindungan. Guncangan berlangsung selama 10 menit dan berhasil meluluhlantakkan Aceh.

Bangunan ambruk. Pohon dan tiang listrik roboh. Kepanikan jelas melanda seisi kota. Meski demikian, ini bukanlah akhir. Malah menjadi awal dari bencana terbesar di awal abad ke-21.

Belum hilang rasa panik dan takut mereka, masyarakat pesisir dihebohkan oleh surutnya air laut secara mendadak. Ikan-ikan berserakan karena airnya menghilang.

Masyarakat kebingungan karena tidak pernah melihat situasi seperti ini sebelumnya. Karena tidak mengetahui kalau ini adalah tahap awal dari
tsunami, mereka pun acuh.

Beberapa menit kemudian, terlihat ombak besar yang siap menghantam daratan. Ombaknya setinggi belasan meter. Dari sinilah, mereka panik dan langsung berlarian ke daerah yang lebih tinggi.

Benar saja, ketika naik ke daratan air laut menggulung semua yang berada di permukaan tanah. Banyak masyarakat yang gagal menyelamatkan diri.

Diketahui, kejadian ini tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga negara sekitar Samudera Hindia lain. Srilanka, Myanmar, Thailand, Malaysia, menjadi negara terdampak. Dari banyaknya wilayah yang diterjang tsunami, Aceh menjadi yang terparah.

Berdasakan catatan pemerintah, dari total 280 ribu korban jiwa di seluruh negara, 130 ribu berada di Aceh. Lebih dari 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Mengutip tulisan Jean-Christophe, dll berjudul "Wave of Peace? Tsunami Disaster Diplomacy in Aceh, Indonesia" (Environmental Economic Geography, 2006), perkiraan kerugian dari bencana tersebut mencapai Rp 41 triliun.

Kejadian ini kelak dikenal sebagai Tsunami Aceh atau Tsunami Hindia Belanda. Belakangan, diketahui kalau guncangan gempa mencapai 9,1 skala richter.

Ketika peristiwa alam itu terjadi, Indonesia terbilang belum siap menghadapi kondisi kebencanaan. Indonesia tidak memiliki aturan tentang bencana dan mitigasinya, termasuk sistem peringatan dini.

Lebih parah lagi, kala itu terdapat konflik antara GAM dengan tentara, yang membuat hubungan pemerintah pusat renggang. Dampaknya penanggulangan bencana berjalan lambat.

Meski demikian, tsunami kelak jadi pemantik utama keharmonisan hubungan antara keduanya.

"Aceh kemudian jadi perhatian internasional dan mengalami keterbukaan. Bencana tsunami adalah katalisator utama. Terjadi diplomasi bencana yang membuat penanggulangan dan rekonstruksi pascabencana berjalan berhasil," tulis Jean-Christophe.

Sejarah mencatat tragedi kerap melahirkan revolusi. Dalam konteks Tsunami Aceh, revolusinya berupa terbentuknya kesadaran bencana oleh pemerintah. Pada tahun 2007, lahir UU Nomor 27 tentang Penanggulangan Bencana.

Setelahnya, terbentuk sistem mitigasi bencana. Berbagai alat pendeteksi gempa dan bangunan tahan gempa didirikan di berbagai wilayah rawan gempa.

Sebuah pelajaran berharga dari Tsunami Aceh 2004...


(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Detik-detik Tsunami Hantam Rusia Akibat Gempa M 8,7

Next Article Alert! Skenario Terburuk, Tsunami 10 Meter Bisa Hantam Jawa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular