
Restu Ibu di Balik 'Sukses' Para Konglomerat di Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Kisah ibu dan para tokoh terkenal banyak menjadi warna kesuksesan banyak orang termasuk mereka para konglomerat di Indonesia. Para konglomerat sangat cinta dan hormat terhadap orang yang melahirkannya. Dan memandang jasa besarnya terhadap kehidupan.
Berikut kisah para konglomerat tentang ibu mereka, yang dihimpun dari berbagai sumber:
Liem Sioe Liong atau Sudono Salim
Pendiri Salim Group ini memiliki cerita yang membekas tentang ibunya. Di tiap langkah kehidupan masa remajanya, sang Ibu selalu memberikan pelajaran kehidupan yang bermakna.
Lewat buku Liem Sioe Lion's Salim Group (2014), konglomerat bahan makanan ini bercerita tentang kebaikan ibunda. Perlu diketahui, Salim menghabiskan waktu mudanya di Fujian, Cina, sejak 1917 sebelum pindah ke Indonesia. Desa tempat tinggalnya bercorak pertanian yang penduduknya memiliki sikap keras.
Namun, hanya ada satu orang yang tidak bersikap demikian, yakni ibunya. Sang Ibu adalah sosok yang berhati lembut, selalu bertutur kata baik, dan ringan tangan tanpa pernah mengeluh. Meski ibu Liem juga tergolong tidak mampu, tetapi mereka selalu berusaha membantu siapapun. Atas kepribadian ini, ibunya disegani seluruh penduduk desa.
Ada cerita menarik tentang ibunya yang membela Salim Kecil saat hendak dipukul ayahnya. Pada suatu hari, Liem kecil pernah pulang larut malam tanpa alasan. Sang Ayah yang terkenal sangat disiplin marah atas tingkah laku ini. Lantas, diambil tongkat untuk memukuli Liem Kecil. Saat tongkat itu hampir mendekat ke tubuh Liem, ibunya tiba-tiba datang dan menangkisnya.
"Apakah kamu ingin membunuhnya?" tanya Sang Ibu.
Alhasil, ia tidak jadi dipukul dan semakin menyadari kebaikan ibu. Selama belasan tahun di Cina, ibu Liem memberi contoh bahwa manusia harus bekerja keras.
Berbagai tantangan yang ada di depan mata harus dihadapi. Hal ini memang disaksikan Liem sendiri saat masih kecil. Ayah dan ibunya menghabiskan waktu berjam-jam di ladang hanya untuk mengisi meja makan dan mengenyangkan perut anak-anaknya. Dari sikap inilah, Liem selalu mempraktikkan kebiasaan ibunya,
khususnya tentang kasih sayang, kesetiaan, dan tolong menolong.
Ciputra
Raja properti ini memiliki kisah menarik bersama ibunya saat masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1942-1945. Kala itu, Ciputra tinggal di perkampungan Gorontalo bersama ayah, ibu, dan sanak saudaranya. Kedatangan Jepang adalah bencana bagi keluarga kecil mereka. Berlatar etnis Cina, membuat ayahnya terdampak "pembersihan" oleh tentara Jepang.
Saat hendak ditangkap, sang Ibu memohon-mohon meminta suaminya itu tetap tinggal. Ibunya menarik-narik tubuh ayahnya agar tidak jadi ditahan. Namun, semua itu sia-sia. Ayahnya tetap ditangkap. Ciputra kecil langsung memeluk ibunya. Peristiwa ini kemudian jadi pertemuan terakhir mereka dengan Ayah.
Sebab, Sang Ayah dihabisi oleh Jepang di penjara. Ibunya langsung mengambil peran sebagai kepala keluarga. Sejak saat itulah, hubungan Ciputra dengan Ibu semakin dekat. Bahkan, di akhir hayatnya pria yang meninggal pada 27 November 2019 ini meminta untuk dikubur di dekat Sang Ibu.
Chairul Tanjung
Dalam buku Chairul Tanjung, si Anak Singkong (2012), Chairul bercerita tentang perjuangan ibunya saat ia berkuliah di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI. Kala itu tahun 1980-an, kuliah di FKG UI tentu membutuhkan biaya sangat besar. Namun, agar Chairul tidak putus sekolah, Sang Ibu tanpa sepengetahuan anaknya itu, harus menggadaikan kain miliknya untuk membayar biaya semester.
Kisah ini baru diketahui Chairul dari ibunya langsung beberapa minggu setelah pembayaran, seraya berpesan: "belajarlah dengan serius" Atas perkataan inilah, Chairul tidak ingin mengecewakan ibunya. Pesan ibunya itu selalu menjadi motivasi utama untuk terus belajar di berbagai hal. Kelak, dari ketekunannya ini Chairul memilih bisnis sebagai jalan utamanya. Hingga akhirnya ia berhasil menjadi pemilik dari berbagai usaha di banyak sektor.
Selain itu, ada cerita menarik lain saat Chairul dan Sang Ibu pergi haji pada 1996. Chairul yang kala itu sudah sibuk rela menyisihkan waktu untuk memenuhi keinginan ibunya itu. Lantas, sebagai bentuk bakti di Tanah Suci, ibunya sangat dilayani, mulai dari keperluan pribadi hingga proses ibadah haji.
Mochtar Riady
Tidak seperti yang lain, Mochtar Riady tidak memiliki banyak cerita tentang ibunya. Pertama, Riady kecil lebih banyak menghabiskan waktu bersama neneknya. Kedua, karena Sang Ibu meninggal muda saat Riady berusia 9 tahun karena melahirkan adiknya.
Meski begitu, ia punya banyak cerita tentang neneknya yang dianggap sebagai pengganti kasih sayang seorang ibu. Dalam penuturannya lewat buku Manusia Ide (2016), Riady menganggap kalau nenek adalah sosok yang sangat bijaksana dan berwibawa sehingga disegani oleh penduduk desa.
Pernah suatu waktu Sang Nenek memberi pesan penting yang dipegangnya seumur hidup "Cucuku, kampung ini memang sangat indah dan permai, tapi lihatlah, penduduk di sini tetap miskin karena mereka tidak ada ilmu pengetahuan dan keterampilan. Karena itu, engkau harus ke luar negeri, belajar dengan rajin dan tekun,"katanya.
"Pergilah untuk kembali lagi. Kembali untuk menyumbangkan ilmu dan keterampilanmu untuk turut membangun dan memakmurkan kampung halaman.
Kalimat "Pergilah untuk kembali" yang selalu dipegang oleh Riady. Saat sudah sukses membangun Lippo Group, ia tak segan untuk pulang kampung ke kampung halamannya di Putian, Cina, khusus untuk membangun infrastruktur dan membantu masyarakat lokal.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cash The King di Balik Fenomena Konglomerat Caplok Hotel