
Belanda Minta Maaf atas Perbudakan di Masa Lalu, Ada RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte telah mengajukan permintaan maaf resmi atas nama negara Belanda terkait peran negara itu dalam perdagangan budak. Hal ini dilakukan setelah kabinetnya melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni Negeri Kincir Angin di Amerika Selatan dan Karibia.
Dalam pidatonya di arsip nasional di Den Haag, Rutte mengakui masa lalu merupakan hal yang tak dapat dihapus. Namun selama berabad-abad, katanya, Belanda telah memungkinkan, mendorong, dan mengambil keuntungan dari perbudakan.
"Orang-orang dikomodifikasi, dieksploitasi, dan diperdagangkan atas nama negara Belanda", katanya dalam pidato itu dikutip The Guardian, Selasa (20/12/2022).
"Memang benar tidak ada yang hidup hari ini yang menanggung kesalahan pribadi atas perbudakan. Tetapi negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan luar biasa dari mereka yang diperbudak, dan keturunan mereka. Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu."
Langkah tersebut mengikuti kesimpulan dari panel penasehat nasional yang dibentuk setelah pembunuhan George Floyd di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020. Mereka mengatakan partisipasi Belanda dalam perbudakan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pantas mendapatkan permintaan maaf resmi dan reparasi keuangan.
Sejauh ini, Belanda masih menolak untuk mengeluarkan biaya reparasi atas tindakannya di masa lalu itu. Namun, Amsterdam telah menyiapkan hingga 200 juta euro (Rp 3,1 triliun) untuk biaya pendidikan.
Sejarawan memperkirakan bahwa pada puncak kerajaan abad ke-16 hingga ke-17, pedagang Belanda mengirim hingga 600.000 orang Afrika yang diperbudak ke koloni Amerika Selatan dan Karibia seperti Suriname dan CuraƧao. Beberapa juga disebut dikirimkan ke Afrika Selatan (Afsel) dan Indonesia.
Permintaan maaf resmi ini bagaimanapun telah menimbulkan kontroversi yang cukup besar. Beberapa negara yang terkena dampak mengkritiknya karena terburu-buru dan berpendapat bahwa kurangnya konsultasi dari Belanda menunjukkan sikap kolonial masih bertahan.
Perdana Menteri wilayah Karibia Belanda Sint Maarten, Silveria Jacobs, mengatakan kepada media Belanda pada akhir pekan bahwa pulau itu tidak akan menerima permintaan maaf pemerintah 'sampai komite penasehat kami telah membahasnya dan kami sebagai negara mendiskusikannya'.
Roy Kaikusi Groenberg dari Yayasan Kehormatan dan Pemulihan, sebuah organisasi Afro-Suriname Belanda, mengatakan belum ada cukup konsultasi dengan keturunan, menggambarkan penanganan pemerintah atas masalah ini sebagai 'sendawa neokolonial.'
"Kami telah menunggu selama beberapa ratus tahun untuk mendapatkan keadilan reparatoris yang sebenarnya. Kami percaya bahwa kami dapat menunggu lebih lama lagi," tambah seorang aktivis di Sint Maarten, Rhoda Arrindell.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Eropa, Sejumlah Toko Roti di Belanda Terancam Bangkrut
