Lika Liku Raksasa Migas Dunia Tinggalkan Indonesia Terkuak!
Jakarta, CNBC Indonesia - Chevron, Shell hingga ConocoPhillips menyatakan keluar dari proyek hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.
Apa yang menjadi alasan?
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menilai, tidak adanya kepastian hukum di sektor hulu migas RI membuat beberapa perusahaan migas kakap global keluar dari Indonesia.
Padahal, lanjutnya, Indonesia membutuhkan para investor tersebut untuk menggenjot produksi migas nasional.
"Di tengah kondisi seperti ini adalah ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan hengkangnya perusahaan minyak seperti Total, Chevron, ConocoPhillips, dan Shell di Blok Masela," ujar Mulyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR bersama SKK Migas, dikutip Minggu (20/11/2022).
Menurut Mulyanto, kondisi ini sebetulnya terjadi lantaran tak kunjung selesainya pembahasan Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Oleh sebab itu, ia pun mendorong keseriusan pemerintah untuk segera menggenjot pembahasan Revisi UU Migas.
"Terutama, mendorong keseriusan pemerintah jangan sampai seperti RUU EBT lagi, DIM-nya gak ada. Kita sudah siapkan tanpa DIM terus gimana, barangnya bodong jadi gak bisa dibahas," ujarnya.
Mulyanto pun berharap agar Revisi UU Migas dapat segera rampung. Terutama, untuk memperkokoh legitimasi hukum SKK Migas yang saat ini hanya bersifat sementara.
"Kita harus ubah UU Migas ini membentuk kelembagaan yang ideal di tengah kondisi senjakala industri migas. Ini yang harus kita tata dengan baik, saya khawatir Andaman (proyek hulu migas di Aceh) mengulangi kasus Abadi Masela karena adanya ketidakpastian hukum," ungkapnya.
Untuk diketahui, belum tuntasnya pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilai menjadi salah satu faktor iklim investasi migas di RI kurang menarik. Terutama bagi perusahaan migas global.
Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan juga mendorong agar pemerintah segera merampungkan Revisi UU Migas. Pasalnya, investor masih akan tetap menahan investasinya hingga RI mempunyai kekuatan payung hukum tetap.
"Semakin lama disahkan. Uncertainty juga semakin besar. Investors wait and see. Options ada di investors, mereka mau berinvestasi di Indonesia (dengan segala uncertainty) atau ke negara-negara lainnya yang lebih certain," katanya kepada CNBC Indonesia.
Di samping itu, ekosistem investasi di sektor hulu migas RI sudah tidak semenarik apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Misalnya seperti Malaysia, Brunei, dan beberapa negara di Asia Tenggara.
"Mungkin mereka lebih memprioritaskan ke negara-negara tersebut yang masih banyak International Oil and Gas Company yang melakukan investasinya," ujarnya.
(mij/mij)