Misteri Jatuhnya Sriwijaya Air Terungkap, Faktanya Tak Diduga

Jakarta, CNBC Indonesia - Misteri penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan Kepulauan Seribu terungkap. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil innvestigasi pemicu jatuhnya pesawat pada pada 9 Januari 2021 lalu.
Meski begitu, investigasi kecelakaan ini pun masih menyisakan misteri. Yaitu, tidak terekamnya suara pilot. KNKT kemudian menyimpulkan, pilot tidak menggunakan headset. Ditambah, adanya gangguan atau noise tinggi 400 Hz menyebabkan analisis atas suara koordinasi di kokpit pun tidak memungkinkan.
"Ini dugaan kita, kenapa kita yakin begitu. Normalnya terbang pakai headset supaya suaranya terdengar pilot yang lain, karena berisik di sana," kata Investigator KNKT Ony Soerjo Wibowo dalam keterangan pers, dikutip Jumat (11/11/2022).
Ada 6 kesimpulan KNKT yang dinilai jadi pemicu utama jatuhnya pesawat:
1. Tahapan perbaikan sistem autothrottle yang telah dilakukan belum mencapai bagian mekanikal.
2. Thrust lever kanan tidak mundur sesuai permintaan autopilot karena hambatan pada sistem mekanikal sehingga thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asymmetry.
3. Keterlambatan CTSM untuk menonaktifkan autothrottle pada saat asymmetry disebabkan karena flight spoiler memberikan nilai yang lebih rendah, berakibat pada asymmetry yang semakin besar.
4. Complacency pada otomatisasi dan confirmation bias mungkin telah berakibat kurangnya monitoring sehingga tidak disadari adanya asymmetry dan penyimpangan arah penerbangan.
5. Pesawat berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke kanan, sementara itu kemudi miring ke kanan dan kurangnya monitoring mungkin telah menimbulkan asumsi pesawat berbelok ke kanan sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai.
6. Belum adanya aturan dan panduan tentang Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) memengaruhi proses pelatihan oleh maskapai untuk menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan (recovery) kondisi upset secara efektif dan tepat waktu.
![]() Media Release Laporan Akhir Investigasi Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air SJ-182. (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana) |
Detik-detik Sebelum Pesawat Jatuh
Berikut sari laporan Investigasi Akhir SJY182 Kecelakaan 9 Januari 2021 di Perairan Kepulauan Seribu, yang dibacakan Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo:
- Pada tanggal 9 Januari 2021, pesawat udara dioperasikan untuk penerbangan berjadwal dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandar Udara Internasional Supadio, Pontianak Dengan nomor penerbangan SJY182. Pesawat udara tinggal landas pada pukul 14.36 WIB.
-Pada saat sedang bergerak naik (climb), pengaturan arah pada autopilot (A/P) berubah dari LNAV keHDG SEL dan disusul perubahan pengaturan vertikal berubah menjadi VIS dan MCP SPD. Perubahan ini membutuhkan tenaga mesin yang lebih kecil. Normalnya, pengatur tenaga mesin (thrust lever) akan bergerak mundur bersama untuk mengurangi tenaga mesin.
- FDR merekam bahwa thrust lever kiri bergerak mundur sedangkan yang kanan tetap, sehingga terjadi perbedaan tenaga mesin dimana tenaga mesin kiri lebih kecil dibandingkan dengan tenaga mesin sebelah kanan (asymmetry).
- Investigasi menyimpulkan bahwa sistem autothrottle tidak dapat menggerakkan thrust lever kanan akibat adanya gaya gesek (kesat) atau gangguan lain pada bagian mekanikal thrust lever kanan.
- Menjelang ketinggian 11.000 kaki, permintaan tenaga mesin semakin berkurang, hal ini membuat thrust lever kiri semakin mundur.
- Pesawat udara Boeing 737-500 telah dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) yang berfungsi menonaktifkan autothrottle jika terjadi asymmetry, untuk mencegah perbedaan tenaga mesin yang lebih besar.
- Penonaktifan autothrottle terjadi antara lain jika flight spoiler membuka lebih dari 2,5° selama minimum 1,5 detik. Kondisi ini tercapai pada pukul 14.39.40 WIB saat pesawat udara berbelok ke kanan dengan sudut 15", tetapi autothrottle tetap aktif dan menjadi non aktif pada pukul 14.40.10 WIB.
- Keterlambatan ini diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah disebabkan karena penyetelan (rigging) pada flight spoiler. Adapun penyetelan pada flight spoiler ini belum pernah dilakukan di Indonesia.
- Asymmetry menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membuat pesawat udara pesawat bergeleng (yaw) ke kiri. Secara aerodynamic, yaw akan membuat pesawat miring (roll) dan berbelok ke kiri. Gaya miring (roll) yang membelokkan pesawat udara ke kiri yang dihasilkan oleh perbedaan tenaga mesin menjadi lebih besar dari gaya yang membelokkan ke kanan yang dihasilkan oleh aileron dan flight spoiler, sehingga pesawat berbelok ke kiri.
- Keterlambatan CTSM untuk menonaktifkan autothrottle menyebabkan perbedaan tenaga mesin semakin besar, dan pesawat udara berbelok ke kiri yang seharusnya ke kanan. Deviasi berbeloknya pesawat udara tidak sesuai dengan yang diinginkan merupakan indikasi bahwa pesawat udara telah berada pada kondisi upset.
- Perubahan yang terjadi di cockpit, antara lain perubahan posisi thrust lever, penunjukan indikator mesin, dan perubahan sikap pesawat yang tergambar pada EADI (Electronic Attitude Direction Indicator) tidak disadari oleh pilot. Hal ini mungkin disebabkan karena kepercayaan (complacency) terhadap sistem otomatisasi.
- Pada saat pesawat berbelok ke kanan, dan kemudi miring ke kanan dapat membuat pilot berasumsi pesawat berbelok ke kanan sesuai yang diinginkan. Kondisi tersebut merupakan confirmation bias yaitu kondisi dimana seseorang mempercayai informasi yang mendukung opini atau asumsinya.
- Complacency terhadap sistem otomatisasi dan confirmation bias kemungkinan telah menyebabkan kurangnya monitor pada instrumen dan keadaan lain yang terjadi.
- Pada saat kemudi miring ke kanan, sementara itu pesawat berubah menjadi miring dan berbelok ke kiri, kemudian disusul peringatan kemiringan yang berlebih (bank angle warning). Selanjutnya A/P menjadi non aktif (disengaged) dan kemudi dimiringkan ke kiri. Kurangnya monitoring pada instrumen.
- Dan posisi kemudi yang miring ke kanan mungkin telah menimbulkan asumsi bahwa pesawat miring ke kanan sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai.
- Investigasi juga menemukan belum adanya aturan tentang Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) berpengaruh terhadap pelatihan yang dilaksanakan oleh maskapai.
Terkait noise yang terekam CVR, Nurcahyo mengatakan, bisa bersumber dari berbagai faktor.
"Noise ini datang dari 400 Hz ini biasanya dari generator listrik. tapi apa iya dari situ saya tidak tahu. Karena kita harus periksa generatornya. Generatornya dimana? itu di dasar laut gimana mau periksa?," tuturnya.
Sehingga pada akhirnya KNKT memutuskan untuk tidak memeriksa karena kondisi mesin pesawat yang tercerai berai di perairan Kepulauan Seribu.
Namun dari hasil rekomendasinya KNKT meminta Garuda Maintenance Facility berupa revisi checklist pembacaan CVR, termasuk menambahkan keharusan melakukan pemeriksaan kualitas dan durasi gelombang suara pada setiap channel. Dimana sebelumnya ditemukan noise serupa saat pemeriksaan.
"Mereka hanya menyatakan dulu pernah kayak gini, di laporan kita ada. Kalau anda menemukan gini ini lho hasilnya. kok kamu bilang ini bagus? akhirnya GMF bilang sistem ditempat saya akan dibenerin. Gitu kasarnya," kata Nurcahyo.
Investigasi ini dipimpin oleh KNKT, juga dibantu negara perancang dan pembuat pesawat (Amerika Serikat) yang diwakili National Transportation Safety Board (NTSB), dan dibantu oleh Federal Aviation Administration (FAA) Boeing dan General Electric. Serta Singapura dari Transport Safety Investigation Bureau (TSIB) dan Inggris Air Accident Investigation Branch.
[Gambas:Video CNBC]
(dce/dce)