
China Beri Sinyal Makin Merapat ke RI Cs, Ada Apa Xi Jinping?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah China berencana untuk memulai pembicaraan dengan negara-negara Asia Tenggara tentang peningkatan hubungan dagang ke arah zona perdagangan bebas. Hal ini terjadi tatkala Negeri Tirai Bambu itu kembali mendapatkan tantangan perang dagang dari Amerika Serikat (AS).
Para pejabat di Beijing mengatakan akan mendekati para pemimpin di blok ASEAN pekan ini untuk mempercepat negosiasi terkait apa yang mereka sebut sebagai Area Perdagangan Bebas Asean-China "Versi 3.0". Sejauh ini, Perdana Menteri China Li Keqiang telah berada di Phnom Penh untuk membahas hal tersebut dalam KTT ASEAN.
"Semuanya menjadi lebih strategis akhir-akhir ini, dan setiap pengumuman perdagangan menjadi lebih terkait dengan geopolitik daripada sebelumnya daripada mengarahkan arus," kata rekan senior tamu di Program Studi Ekonomi Regional ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, Jayant Menon, kepada South China Morning Post (SCMP), Kamis (10/11/2022).
ASEAN sendiri terdiri atas Singapura, Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Bila digabungkan, ASEAN memiliki populasi hingga 685 juta.
"Perdagangan China-ASEAN telah bernilai US$878,2 miliar," kata Kementerian Luar Negeri China pada September lalu.
Sementara itu, peningkatan hubungan dagang ASEAN-China sendiri diduga tekanan pemerintah AS terhadap Negeri Tirai Bambu itu. Washington baru-baru ini menekannya secara ekonomi melalui tarif dan pembatasan pada sektor teknologi tinggi, sambil mengabaikan keterlibatan China dalam kesepakatan perdagangannya sendiri.
AS membentuk Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) 14-negara pada bulan Mei untuk memajukan perdagangan yang adil, ketahanan rantai pasokan, dan peningkatan infrastruktur termasuk energi bersih. China tidak ikut serta dalam kerangka itu.
"Mengatasi manuver adalah satu hal, dan mencegah adalah hal lain. Ini untuk mencegah IPEF mengungguli industri ekonomi China," kata Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik di Universitas Chulalongkorn di Bangkok.
"Setelah Ukraina dan setelah perang dagang dengan Amerika Serikat, China harus berpikir sangat keras tentang bagaimana mengatasi decoupling," kata Alexander Vuving, seorang profesor di Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies di Hawaii.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Warning Negara-negara ASEAN, Ada Apa Xi Jinping?