Perburuan Harta Karun di RI Ternyata Tak Murah, Ini Buktinya
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sudah mengizinkan pihak swasta hingga investor asing untuk melakukan eksplorasi pencarian harta Karun di bawah laut. Alasan munculnya kebijakan ini karena beban biaya dalam setiap pengangkatan benda muatan kapal tenggelam (BMKT) tergolong mahal.
Pemerintah sempat mengungkapkan nilainya mencapai US$500 ribu-US$1 juta untuk sekali pengangkatan. Kalau dirupiahkan dengan kurs Rp15.625, ongkos tersebut mencapai Rp7,5 miliar-Rp15 miliar lebih. Namun, kalangan pengusaha menyebut nilainya jauh lebih besar dari angka tersebut.
"Biaya mahal, Rp 14-15 miliar atau US$ 1 juta itu paling murah. Saya saja mengangkat kemarin US$ 3 juta. Waktu pengangkatan Cirebon 2005 saya habis US$8 juta," kata Harry Satrio, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT Indonesia kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (9/11/22).
Jika dirupiahkan, maka nilainya mencapai Rp 125 miliar. Biaya tersebut untuk memenuhi berbagai aspek, mulai dari biaya kapal, peralatan canggih yang mumpuni hingga biaya penyelam yang tersertifikasi.
"Proses 2 tahun, karena 1 tahun nggak bisa kerja 24 jam, setahun paling 6 bulan, karena musim hujan ombak. Setiap hari juga paling 4-6 jam, penyelamnya itu yang mahal," kata Harry.
"Batas penyelam profesional 30-60m, itu udah cukup dalam. Harus profesional diver. Bukan sport diving di Raja Ampat yang ke dalam 5-10m. Batas segitu lebih harus pake teknologi khusus. pengangkatan pake alat lagi," lanjutnya.
Hingga kini, pelaku usaha masih belum memutuskan untuk kembali mengeksplorasi. Tingginya biaya membuat mereka lebih berhati-hati dalam menentukan titik koordinat yang benar-benar dituju.
"Belum, mereka juga nunggu sama dengan saya. Saya sekjen asosiasi pengusaha BMKT kita kompakan lah. Perkiraan awal tahun depan Februari-Maret, cuaca ombak teduh lah," kata Harry.
Tingginya biaya eksplorasi juga menjadi kendala bagi pemerintah dalam melakukannya sendiri kegiatan ini. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan ongkos mahal menjadi alasan utamanya.
"Kalau kita pakai uang negara untuk melakukan seperti itu, bisa kita lakukan tapi itu menjadi terlalu mahal," jelasnya beberapa waktu lalu.
(hoi/hoi)