Selama Bertahun-tahun RI Jalankan 'Ekonomi Ayam'!
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki beragam 'harta karun' melimpah, baik di sektor energi maupun pertambangan. Namun sayangnya, 'harta karun' ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Selama bertahun-tahun, atau bahkan puluhan tahun, 'harta karun' itu hanya digali lalu dijual, belum melewati proses hilirisasi terlebih dahulu. Akibatnya, nilai tambah justru lebih dinikmati oleh negara lain, bukan Indonesia sebagai pemilik 'harta karun' ini.
Oleh karena itu, kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong proses hilirisasi komoditas tambang di Indonesia. Pemerintah pun akan menghentikan ekspor bahan mineral mentah, seperti timah, bauksit, hingga tembaga pada tahun depan. Kebijakan ini tak lain untuk menambah pendapatan negara.
Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto bahkan menyebutkan aksi gali dan jual 'harta karun' tambang ini sebagai "ekonomi ayam".
Pasalnya, Indonesia selama bertahun-tahun hanya menggali tambang mentah dan langsung diekspor ke mancanegara, tanpa ada nilai tambah atau proses hilirisasi terlebih dahulu.
"Selama bertahun-tahun ekonomi kita cenderung, kalau boleh sebut ekonomi ayam. Bisa lihat ayam cari makan gimana sih, kan cara ayam cari makan ini gali, gali, gali. Nah ini sama, kita selama bertahun-tahun, gali-gali ekspor, gali-gali ekspor," ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam acara program Nation Hub CNBC Indonesia, dikutip Jumat (4/11/2022).
Namun demikian, pada 2014, Presiden Jokowi telah merancang peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan ini, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
"Ini sudah diamanatkan. Jadi menurut saya, transformasi yang dilakukan dieksekusi sejak zaman periode Pak Joko Widodo itu adalah bagaimana kita melakukan nilai tambah atas bahan mineral yang kita miliki, bahan mentah yang kita miliki menjadi sesuatu yang lebih berharga, yang saat kita ekspor itu, nilainya berkali-kali lipat lebih tinggi," tuturnya.
Dia mencontohkan, komoditas nikel yang saat belum dilakukan hilirisasi, Indonesia mengekspor nikel mentah dalam satu ton yang kandungan nikelnya terhitung hanya sebesar 1,7%. Hal ini berarti Indonesia hanya mengekspor 1,7% nikel per tonnya, sedangkan sisanya adalah komponen air dan tanah.
"Kalau kita ekspor bijih nikel itu dalam satu ton mungkin nikelnya hanya ada 1,7 sampai 1,8%, sisanya apa? Sisanya adalah tanah dan air. Jadi kalau kita mau mengekspor bijih nikel itu kita mengekspor tanah dan air. Karena hanya 1,7 % nikelnya," pungkasnya.
Dalam datanya, Seto memaparkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel Indonesia pertama kali diterapkan pada 2014, menghasilkan nilai ekspor nol pada tahun 2015-2016. Kemudian, pemerintah melonggarkan kebijakan tersebut pada 2017, sebelum akhirnya menerapkan kembali kebijakan larangan ekspor pada 2020.
Hilirisasi juga membantu menjaga ketahanan eksternal, ekspor besi dan baja berkontribusi 60% untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan China. Seperti diketahui, China merupakan importir nikel terbesar dari Indonesia sejak 2007.
"96% bijih nikel kita diekspor ke mana? Ke Tiongkok, 96% bijih nikel kita ke Tiongkok. Jadi sekarang apa yang kita lakukan? Oke kita tidak lagi perbolehkan ekspor bijih nikel ini bisa dilihat datanya 96% di 2019, 2018 bahkan 97%, 2017 juga kira-kira sama," ujarnya.
Tahun depan, pemerintah berencana menyetop ekspor bahan mentah mineral, salah satunya bauksit mulai Juni 2023. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Adapun tujuan utama kebijakan ini yaitu guna mendorong hilirisasi bahan mineral mentah di Tanah Air, sehingga negeri ini memperoleh nilai tambah lebih besar, ketimbang hanya mengekspor produk mentah seperti yang dilakukan selama ini.
(wia)