Internasional

Jerman: Putin Pakai Energi dan Kelaparan sebagai Senjata

luc, CNBC Indonesia
20 October 2022 19:42
New elected German Chancellor Olaf Scholz is sworn in by parliament President Baerbel Bas in the German Parliament Bundestag in Berlin, Wednesday, Dec. 8, 2021. The election and swearing-in of the new Chancellor and the swearing-in of the federal ministers of the new federal government takes place in the Bundestag on Wednesday. (Photo/Markus Schreiber)
Foto: AP/Markus Schreiber

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Rusia Vladimir Putin dituding menggunakan energi dan kelaparan sebagai senjata dalam perangnya di Ukraina dan untuk memecah belah persatuan negara-negara Barat.

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan negaranya telah membebaskan diri dari ketergantungan pada gas Rusia dan bekerja untuk menurunkan harga energi, meskipun hal tersebut berpotensi jadi bumerang.

Adapun, tentara Rusia telah menghancurkan infrastruktur energi Ukraina dalam beberapa hari terakhir, menyebabkan pemadaman dan mendorong Ukraina untuk memberlakukan pembatasan penggunaan listrik untuk pertama kalinya sejak serangan Rusia pada Februari.

"Kami tidak akan membiarkan eskalasi terbaru Moskow tidak terjawab... Taktik bumi hangus tidak akan membantu Rusia memenangkan perang. Mereka hanya akan memperkuat persatuan dan tekad Ukraina dan mitranya," kata Scholz kepada parlemen, Kamis (20/10/2022). dikutip Reuters.

"Semua kebohongan dan propaganda, pembicaraan tentang 'operasi khusus' dan kemenangan cepat - semua itu hanya fasad, seperti desa Potemkin."

Scholz berbicara ketika para pemimpin dari 27 negara Uni Eropa bersiap untuk bertemu untuk kedua kalinya dalam dua minggu untuk mencoba menurunkan harga energi dengan memberlakukan pembatasan harga gas.

Sebanyak 27 negara anggota Uni Eropa diharapkan mendukung patokan harga alternatif untuk pembelian gas alam cair dan gas bersama.

Sementara 15 negara termasuk Prancis dan Polandia mendorong beberapa bentuk pembatasan, mereka menghadapi tentangan keras dari Jerman dan Belanda - masing-masing pembeli ekonomi dan gas terbesar di Eropa, dan pusat perdagangan gas utama Eropa.

Scholz mengatakan bahwa kesenjangan harga gas yang dipaksakan secara politis berisiko mendorong produsen untuk menjual gas mereka di tempat lain, yang berarti Uni Eropa dapat menerima lebih sedikit gas sebagai hasilnya.

"Uni Eropa harus berkoordinasi erat dengan konsumen gas lain seperti Jepang dan Korea Selatan agar tidak saling bersaing," katanya.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Putin Usir 20 Diplomat Jerman dari Rusia, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular