
Rupiah Ambles, Taipan Batu Bara Bisa Menang Banyak nih

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di awal perdagangan Rabu (12/10/2022). Isu resesi yang semakin menguat membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona, rupiah pun kian mendekati Rp 15.400 per US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, tetapi tidak lama langsung melemah 0,1% ke Rp 15.370 per US$ pada pukul 9:02 WIB.
Kian melesunya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini akan berdampak buruk bagi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) di dalam negeri karena Indonesia merupakan net importir minyak. Komoditas tersebut dibeli juga dengan menggunakan dolar AS.
Sementara itu, asumsi kurs pada perubahan APBN 2022 ini, berdasarkan Peraturan Presiden No.98 tahun 2022, dipatok sebesar Rp 14.450 per US$. Akibatnya, harga jual di dalam negeri bisa semakin meningkat alias makin mahal.
"Jadi, sangat berpengaruh lantaran penetapan harga BBM dan LPG salah satunya adalah kurs rupiah terhadap dolar AS," ungkap Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi kepada CNBC Indonesia, Rabu (12/10/2022).
Hal senada diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talatov. Abra menilai, harga BBM dan LPG bisa kembali mengalami kenaikan. Pasalnya, harga BBM dan LPG di dalam negeri juga dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Jadi justru saya pikir ada dua beban terhadap pembentukan harga BBM di dalam negeri, yakni harga minyak mentah atau ICP (Indonesia Crude Price) dan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Jadi bebannya ganda," ungkap Abra kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (11/10/2022).
Kendati demikian, kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas batu bara. Pasalnya, Indonesia masih mengekspor sebagian besar hasil produksi batu bara. Alih-alih mengerus devisa, komoditas batu bara justru bisa menyumbang devisa negara karena sebagian besar penjualan keluar negeri dengan menggunakan mata uang dolar AS.
Pada 2021 misalnya, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia tercatat memproduksi batu bara sebanyak 613,99 juta ton. Dari jumlah produksi tersebut, batu bara diekspor sebanyak 435,22 juta ton atau sekitar 71% dari total produksi.
Adapun pemanfaatan batu bara untuk kepentingan domestik pada 2021 tercatat sebesar 133 juta ton.
Pada 2022 ini produksi batu bara nasional ditargetkan melonjak 8% menjadi 663 juta ton dengan target pemanfaatan batu bara untuk dalam negeri sebesar 165,7 juta ton dan selebihnya diekspor. Artinya, 75% batu bara yang diproduksi pada 2022 ini ditargetkan diekspor.
Hingga Rabu (12/10/2022), berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, produksi batu bara telah mencapai 516,25 juta ton atau sekitar 77,87% dari target produksi tahun ini.
Selain volume ekspor yang meningkat, pengusaha batu bara tahun ini diberkahi lonjakan harga batu bara yang luar biasa. Sejak Perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022, harga batu bara kian "sakti". Dari yang sebelumnya berada di bawah US$ 250 per ton, lalu kian terkerek menuju US$ 300 per ton, bahkan melampaui US$ 400 per ton.
Pada 2 Maret harga batu bara sempat menyentuh US$ 446 per ton. Pada 5 September 2022 lalu harga batu bara sempat melonjak lagi menjadi US$ 463,75 per ton.
Pada perdagangan Selasa (11/10/2022), harga batu kontrak November di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di US$ 388,5 per ton. Harganya menguat 2,24% dibandingkan hari sebelumnya.
Kondisi di industri batu bara ini sayangnya berbeda dengan komoditas minyak dan produk minyak di Tanah Air yang justru sebagian besar harus diimpor.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia mengimpor minyak mentah sekitar 350 ribu barel per hari (bph).
Sementara untuk impor BBM, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencapai lebih dari 20 juta kilo liter (kl) per hari. Pada 2021, impor BBM RI sebesar 22,09 juta kl, naik dari 20,87 juta kl pada 2020. Sementara pada 2019 sebelum pandemi impor BBM tercatat mencapai 24,72 juta kl.
Begitu pun dengan LPG, impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak to the Moon Tembus US$90/Barel, ESDM Ketar-Ketir
