
Gempa Bumi Banten & Ancaman Bencana Kimia Seperti di Jepang

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan lalu, masyarakat ibu kota dan sekitarnya dikagetkan oleh gempa bumi yang terjadi. Para pengunjung di salah satu mal di Kota Tangerang, Banten, bahkan berhamburan keluar gedung demi menyelamatkan diri.
Melalui pernyataan resmi, Plt. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono bilang kalau gempa bumi tektonik terjadi di wilayah Pantai Tenggara Pandeglang pada Minggu (9/10/2022) pukul 17.02.44 WIB.
"Hasil analisis BMKG menunjukkan gempa bumi ini memiliki parameter update dengan magnitudo M5,3. Episenter gempa bumi terletak pada koordinat 7,01° LS ; 106,07° BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 22 Km arah Barat Daya Bayah, Banten pada kedalaman 47 km," ujarnya.
"Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat adanya aktivitas subduksi lempeng. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan oblique turun (normal oblique)," lanjutnya.
Gempa bumi itu terasa di Jakarta, Depok, hingga Sukabumi. Gempa bumi itu pun tidak berpotensi tsunami.
Bencana kimia
Bicara tentang gempa bumi di Banten, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati pernah mengungkapkan kalau provinsi Banten memperoleh perhatian spesial lantaran potensi gempa hingga tsunami.
Hal itu disampaikan Dwikorita saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI secara virtual, Selasa (8/2/2022).
"Banten ini mendapat perhatian yang sangat khusus bahkan super khusus di BMKG. Sumber kejadian gempa yang diikuti tsunami tidak hanya satu, selain megathrust juga erupsi gunung berapi, ataupun longsor laut dan beberapa sumber lainnya," ujarnya.
Dan yang lebih berbahaya lagi di Banten, menurut Dwikorita, ada Kota Cilegon, kota industri kimia.
"Kalau kota itu terkena, dampaknya bisa seperti yang di Jepang, menjadi bencana kimia. Tidak hanya gempa bumi tetapi dampak itu," katanya.
Oleh karena itu, menurut Dwikorita, sejak dua tahun lalu, BMKG meningkatkan mitigasi di sepanjang pantai Banten dan Lampung, termasuk Kota Cilegon. Tercatat sudah terpasang satu radar untuk mendeteksi tsunami.
"Kemudian ada lebih dari, ada beberapa alat, puluhan alat, untuk mendeteksi muka air laut termasuk juga sekitar 6-10 seismograf terpasang di sekitar pantai tersebut," ujar Dwikorita.
Dalam kesempatan itu, mantan rektor UGM itu juga menyampaikan update terkini perihal langkah BMKG merespons peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau. Agar peristiwa tsunami 2018 di Pandeglang tidak terulang, BMKG segera memasang tambahan alat di kompleks gunung yang sedang erupsi.
"Jadi gunung itu kan sudah erupsi beberapa waktu yang lalu. Nah saat ini kami sedang mencuri waktu saat istirahat erupsinya sebentar, di sekitar erupsi itu akan dipasang alat untuk mengukur ketinggian muka air laut. Karena apabila terjadi tsunami alat itu posisinya yang sangat dekat dengan pusat gunung api akan memberikan peringatan yang lebih dini," kata Dwikorita.
"Jadi mohon doa dan dukungan agar proses pemasangan alat ini yang diberi dengan kelengkapan khusus, kerja sama dengan kementerian KKP dan juga kerja sama dengan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia, serta juga dengan Badan Geologi yang berwenang memonitor gunung api, segera dua alat itu terpasang," lanjutnya.
(miq/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Peringatan Bos BMKG: 6 Daerah ini Berpotensi Banjir & Longsor