Sederet Negara Kini di Bibir Jurang Resesi, Ada RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi global sudah di depan mata. Berbagai lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, G7 hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan negara-negara dunia dihadapkan oleh cobaan harga pangan dan energi yang kelewat tinggi akibat perang Rusia dan Ukraina, hingga utang yang menumpuk.
Bahkan, IMF sebelumnya menyampaikan bahwa ada sekitar 60 negara yang ekonominya bermasalah dan rasio utangnya telah lebih dari 100% terhadap PDB. Jumlah ini pun mungkin masih akan bertambah ke depannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan resesi ini dipicu oleh inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.
Dia menegaskan kebijakan tersebut akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, negara berkembang pun ikut merasakan efeknya.
"Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023," ujarnya, dalam Konferensi Pers APBN KITA Agustus, Rabu (28/9/2022).
Lantas, siapa saja negara-negara yang saat ini berada di bibir jurang resesi?
1. China
Tahun ini, China bermasalah akibat kebijakan zero Covid-19 dan gelombang panas yang membuat panen gagal serta kinerja manufakturnya susut.
Bank Dunia memperkirakan China akan tumbuh sebesar 2,8% pada tahun 2022, suatu penurunan tajam dari 8,1% pada tahun 2021.
Terbukti, pertumbuhan ekonomi China melambat pada kuartal II-2022. Kenaikan produk domestik bruto (PDB) secara tahunan (year-on-year/yoy) pada triwulan kedua hanya sebesar 0,4%.
Berdasarkan data Biro Statistik China yang dirilis pada Jumat (15/7/2022), pertumbuhan PDB tersebut jauh di bawah pertumbuhan pada kuartal I/2022 yang mencapai 4,8%. Catatan itu juga jauh di bawah konsensus pasar sebesar 1%.
Adapun, angka itu juga menjadi yang terendah sejak kontraksi sebesar 6,8% pada kuartal I-2020 akibat meledaknya kasus Covid-19 yang memaksa pemerintah memberlakukan lockdown.
2. Amerika Serikat (AS)
Sementara itu, AS dihantam oleh laju inflasi yang liar. Inflasi ini memaksa bank sentralnya Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga secara cepat dan agresif. Sepanjang 2022 saja, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak lima kali.
Alhasil, Pertumbuhan ekonomi AS mengalami kontraksi 0,6 persen pada kuartal II-2022, setelah minus 1,6 persen pada kuartal sebelumnya.
Ekonom dan analis Wall Street ramai-ramai memperjelas posisinya atas kondisi inflasi dan respons kebijakan moneter Federal Reserve, dengan mayoritas sepakat bahwa ekonomi dan pasar modal akan semakin memburuk sebelum kembali rebound. Hal ini diamini oleh banyak direktur keuangan di perusahaan-perusahaan top, menurut hasil survei terbaru dari CNBC CFO Council.
Lebih dari 40% direktur keuangan (chief financial officer/CFO) menyebutkan inflasi sebagai risiko eksternal nomor satu untuk bisnis mereka dengan nyaris seperempat (23%) CFO menyebut kebijakan Federal Reserve sebagai faktor risiko terbesar. Selain itu, sejumlah CFO (14%) juga menyebutkan gangguan rantai pasokan merupakan masalah utama.
Adapun risiko bisnis terbesar saat ini menurut para CFO adalah perang Ukraina-Rusia. Hal tersebut membuat harga BBM dan makanan melonjak di AS, dengan pemerintahan Biden berjuang mencari cara untuk meningkatkan pasokan minyak dan pasokan makanan, seperti gandung dari Ukraina, di tengah kekhawatiran tentang krisis pangan global.
3. Inggris
Krisis juga tengah dialami Inggris. Harga energi melambung tinggi. Dengan kenaikan terbaru di Oktober, warga kemungkinan harus membayar 3.549 pound atau Rp 60,7 juta setahun untuk listrik dari sebelumnya 1.971 pound.
Inflasi juga hampir menyentuh 10%, di mana indeks harga konsumen Inggris pada bulan Agustus 2022 berada di level 9,9% secara year-on-year. Hal ini terjadi saat harga pangan di negara itu naik.
Sejumlah hal ini membuat muncul fakta-fakta baru soal bagaimana krisis ini mempengaruhi kehidupan warga Inggris. Mulai dari anak-anak yang terpaksa mengunyah karet hingga banyaknya perempuan beralih profesi menjadi pekerja seks komersial (PSK).
4. Italia
Sekitar 120 ribu usaha di Italia terancam mengalami penutupan. Hal ini dikarenakan biaya energi yang makin tinggi dan mencekik biaya operasional bisnis.
Dalam laporan Russia Today yang mengutip berita Corriere della Sera, Kepala Asosiasi Bisnis Italia atau Confcommercio, Carlo Sangalli mengatakan kondisi ini juga akan berdampak pada hilangnya 370 ribu pekerjaan. Dia mengaku saat ini harga energi di Italia juga lebih tinggi dibandingkan negara lainnya.
"Sudah hari ini banyak perusahaan mereorganisasi atau mengurangi layanan... Antara sekarang dan paruh pertama tahun 2023, setidaknya 120.000 usaha kecil di sektor jasa berada dalam risiko... Ini adalah perkiraan hati-hati yang tidak memperhitungkan perusahaan terbesar," kata Sangalli, dikutip Rabu (28/9/2022).
Italia, bersama dengan negara-negara Uni Eropa lainnya, telah berjuang melawan inflasi yang mencapai rekor tertinggi. Inflasi tahunan di negara tersebut mencapai 8,4% pada bulan Agustus, sebagian besar didorong oleh biaya energi.
Negeri Pizza itu bergantung pada impor untuk hampir 75% dari energinya. Pada awal tahun ini, ia mengimpor 40% gasnya dari Rusia.
Namun pada pada bulan Juli pembeliannya dari Rusia turun menjadi 25% karena sanksi UE akibat serangan Moskow ke Ukraina.
5. Jepang
Krisis mata uang terjadi di Jepang. Pada pekan lalu, Kurs yen sempat menyentuh JPY 145,89/US$ yang merupakan level terlemah sejak Agustus 1998. Yen menjadi salah satu mata uang terburuk di tahun ini dengan pelemahan nyaris 25%.
Pemerintah Jepang yang sudah gelisah dalam beberapa pekan terakhir melihat pergerakan yen akhirnya mengambil tindakan tegas.
Intervensi pun dilakukan, pertama kalinya sejak 1998.
"Kami telah mengambil tindakan tegas" kata Wakil Menteri Keuangan Jepang untuk urusan international, Masato Kanda kepada wartawan ketika ditanya mengenai intervensi, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (22/9/2022).
Jebloknya nilai tukar mata uang bisa berdampak buruk, selain beban pembayaran utang yang akan membengkak, inflasi bisa bertahan di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga memberikan masalah dalam jangka panjang.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan global resesi juga akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Dia berpesan semua pihak harus kompak menghadapi masalah ini.
"Di tengah global resesi yang mungkin akan terjadi tahun depan, yang kita tahu akibat perang di Ukraina dan ketegangan di Tiongkok. Kita perlu semua kompak menghadapi keadaan ini. jangan sampai membuat hal-hal yang tidak perlu diantara kita karena bisa menyerang kita semua," kata Luhut dalam Konferensi Pers F1H20, Rabu (28/9/2022).
"Kalau kita lebih hati - hati lebih kompak lebih bekerja sama.. akan berdampak mengurangi pressure dari ekonomi dunia," lanjutnya.
Luhut menjelaskan Indonesia harus bekerja sama dan melakukan penataan untuk mengatasi dampak global krisis.
"Suka tidak suka itu akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Inflasi kita masih 4,9. Lalu, core inflasi kita 2,8 tapi banyak di pangan inflasi tinggi yang sekarang sedang kita kerjakan bersama berdasarkan perintah Presiden RI," katanya.
(haa/haa)