4 Kajian UI Soal Subsidi BBM, Pak Jokowi Wajib Baca Nih!

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
27 September 2022 11:10
Bantuan langsung Tunai Bahan Bakar Minyak (BLT BBM) . (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bantuan langsung Tunai Bahan Bakar Minyak (BLT BBM) . (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) menelurkan sebuah kajian perihal subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Yang mana, kebijakan pemerintah mengalihkan sebagian subsidi BBM ke program penguatan perlindungan sosial per 3 September lalu menuai beragam respon dari publik.

Nah, dalam Trade and Industry Brief edisi September 2022 ini, LPEM FEB UI membahas salah satu area kebijakan terkait subsidi BBM yang belum disentuh secara optimal, yaitu peningkatan literasi publik atas manfaat BBM berkualitas.

Seperti yang diketahui, per 3 September 2022 kemarin pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga BBM jenis Penugasan seperti Pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp 10.000 per liter. Kenaikan harga BBM Pertalite juga turun mengerek harga BBM Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500/liter.

LPEM FEB UI menyebutkan, bahwa dari sisi pemerintah, kenaikan harga ini adalah upaya untuk mengalihkan sebagian subsidi BBM ke program penguatan perlindungan sosial. Dalam pandangan pemerintah, subsidi BBM selama ini salah sasaran karena 80%-nya dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu.

Selain itu, nilai subsidi yang mencapai Rp502 triliun membelenggu APBN, dan rawan membengkak lebih jauh jika harga minyak dunia kembali bergejolak.

Pada sisi lain, kritik banyak menyoroti potensi timbulnya dampak berupa turunnya daya beli masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk miskin, dan terhambatnya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM yang diberikan hanya secara temporer dan kemungkinan kurang akuratnya data 20,65 juta keluarga miskin penerima juga menjadi perhatian publik.

"Sayangnya, upaya pemerintah untuk mengatasi dilema ini masih cenderung terfokus pada aspek pasokan dan penjualan, seperti pembatasan pasokan ke SPBU atau pembatasan pembelian Pertalite melalui aplikasi MyPertamina," terang kajian Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI, yang diterima Selasa (27/9/2022).

Kajian itu menyebutkan, masih terdapat satu area kebijakan yang belum digarap secara optimal, yaitu mendorong sisi permintaan masyarakat golongan mampu atas BBM berkualitas (beroktan tinggi).

Saat ini masih terbuka ruang peningkatan literasi tentang manfaat BBM berkualitas agar sebagian konsumen secara sukarela bermigrasi ke BBM RON 92 (Pertamax) atau lebih tinggi.

Pertama, belum seluruh konsumen terinformasi dengan baik bahwa BBM beroktan rendah dapat berdampak negatif terhadap mesin kendaraan, terutama dalam jangka menengah- panjang. Secara teknis, BBM beroktan rendah menyebabkan kemampuan mesin memperlambat waktu percikan (spark timing) dan mengurangi detonasi

(engine knocking) menjadi terbatas. Dalam jangka menengah-panjang, dampak negatif terhadap mesin kendaraan dapat berupa turunnya efisiensi, atau bahkan kerusakan dan piston berlubang.

Kedua, studi yang sama juga menunjukkan bahwa BBM dengan oktan tinggi menghasilkan efisiensi bahan bakar yang lebih baik, atau dengan kata lain lebih irit. Oktan yang tinggi memungkinkan desainer mesin untuk menggunakan beragam teknik rancangan sehingga keandalan, efisiensi, dan power output mesin meningkat. Selain itu, penggunaan bensin dalam kendaraan bermotor perlu mengikuti rasio kompresi mesin

Ketiga, BBM beroktan tinggi menimbulkan dampak negatif yang lebih kecil terhadap kelestarian lingkungan, khususnya kualitas udara. Hal ini disebabkan pembakaran yang lebih bersih menghasilkan emisi yang lebih sedikit.

Pada saat pembatasan sosial berskala besar tahun 2020-2021 lalu publik dapat melihat langsung kualitas udara yang bersih di berbagai kota besar, sebagian besarnya karena berkurangnya mobilitas penduduk yang kebanyakan menggunakan BBM jenis Premium (RON 88). Hal ini sebenarnya dapat menjadi momentum yang baik untuk meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya BBM berkualitas untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Keempat, emisi yang besar ke udara dapat menimbulkan resiko kesehatan bagi masyarakat. Studi KPPB dan Universitas Indonesia [4] menunjukkan bahwa polusi udara dapat menimbulkan gangguan kesehatan ekstrem, tidak terkecuali pengendara dan penumpang kendaraan yang terlindung di dalam kendaraan karena menggunakan AC. Sebagai contoh, rata-rata air seni masyarakat Jakarta mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons dan benzene yang berlipat kali lebih tinggi dari standar WHO. Berbagai zat tersebut dapat meningkatkan penyakit pernapasan dan penyakit mematikan lainnya.

Keempat faktor tersebut dapat menjadi bahan bagi pemerintah untuk upaya peningkatan literasi publik tentang manfaat BBM beroktan tinggi. Tentu saja untuk hal ini pemerintah perlu melakukan upaya sosialisasi dan edukasi yang lebih luas dan sistematis. Pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pihak yang memiliki kompetensi pada masing-masing bidang tersebut dan memiliki perhatian yang sama akan isu keberlanjutan,

meliputi ahli kesehatan, ahli lingkungan, ahli mesin, asosiasi bengkel otomotif dan lembaga perlindungan konsumen. Pabrikan dan dealer mobil juga perlu menekankan pada konsumen tentang pentingnya membaca manual kendaraan, khususnya terkait syarat oktan minimum BBM untuk masing- masing jenis kendaraan.

Meskipun demikian, sedikit-banyaknya konsumen yang terliterasi kemudian akan secara sukarela bermigrasi ke BBM berkualitas juga bergantung pada selisih harga antar jenis BBM.

Studi YLKI menunjukkan bahwa meskipun spesifikasi mesin dan lingkungan telah menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih jenis dan kualitas BBM, tetapi faktor harga masih tetap menjadi penentu utama keputusan.

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa pada perbedaan harga sekitar Rp1.000 akan terjadi migrasi sukarela konsumen dari Pertalite ke Pertamax sebesar 23- 44%, tergantung pada tingkat pendapatan dari masing-masing konsumen. Semakin besar selisih harga dan semakin rendah pendapatan konsumen, semakin kecil pula perpindahan sukarela yang akan terjadi, dan demikian pula sebaliknya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Diramal Gagal Jadi Negara Maju, Kok Bisa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular