
Sri Mulyani Ingatkan 'Neraka' Inflasi Berujung Resesi di 2023

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan inflasi global di negara maju masih memanas pada September ini, meskipun telah berangsur turun. Kondisi ini ditengarai akibat harga komoditas global yang masih selangit.
Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA September 2022, Senin (26/9/2022).
"Berbagai negara inflasinya persistently masih tinggi. Artinya, seperti Inggris, Amerika dan Eropa sekarang mereka terbiasa melihat inflasi pada level di atas 8%," kata Sri Mulyani.
Bahkan, lanjutnya, Inggris telah mencapai 9,9% dan Eropa 9,1%. Inflasi tersebut masih bisa naik akibat kondisi musim dingin, menurut Sri Mulyani.
"Memasuki winter kebutuhan energi naik, namun pasokan menjadi terkendala karena perang," ungkapnya.
Di Amerika Serikat (AS), Sri Mulyani melihat hal serupa. Inflasi telah turun menjadi 8,3%, tetapi inflasi intinya cukup tinggi.
Dengan demikian, banyak negara yang menangani inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan dan mengetatkan likuiditas. Suku bunga acuan di Inggris tercatat sebesar 2,25% atau naik 200 basis points (bps) dan AS sudah mencapai 3,25% setelah naik 300 bps.
AS diperkirakan akan kembali menaikkan sebesar 75 bps dan Eropa sebesar 125 bps. "Ini kenaikan ekstrem, selama ini eropa sangat rendah dari sisi policy rate-nya," ujar Sri Mulyani.
Hal ini yang diwaspadai Sri Mulyani akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Jika demikian, dia melihat potensi resesi global di 2023.
"Kenaikan sukbunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem dan memukul pertumbuan negara-negara tersebut," katanya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Ungkap Biang Kerok Eropa dan AS Dihantam Inflasi
