Resesi Mendekat, Ini Sektor yang Diramal Tenggelam

Maesaroh, CNBC Indonesia
Rabu, 21/09/2022 14:45 WIB
Foto: Tandan buah segar kelapa sawit terlihat di tempat pengumpul sebelum diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi semakin nyata seiring dengan pengetatan kebijakan moneter di tingkat global dan lonjakan inflasi. Sejumlah sektor usaha diperkirakan akan mengalami penurunan permintaan dalam 1-2 tahun ke depan jika resesi melanda dunia, terutama sektor komoditas.

Head of macroeconomic research Bank Mandiri Dian Ayu Yustina memperkirakan komoditas merupakan sektor yang akan sangat terdampak oleh resesi. Harga batu bara, minyak sawit mentah, hingga karet diperkirakan melandai sejalan dengan melemahnya permintaan global.


"Resesi akan berimbas pada permintaan komoditas sehingga akan terjadi koreksi pada harga komoditas," tutur Dian Ayu dalam acara Asian Development Outlook 2022 Update on Indonesia yang digelar Asian Development Bank (ADB), Rabu (21/9/2022).

Dalam sebulan terakhir, harga mayoritas komoditas memang mengalami penurunan tajam. Pengecualian masih terjadi pada batu bara yang harganya masih terus merangkak naik.

Dalam sebulan, harga minyak sawit mentah anjlok sekitar 9,8%, harga minyak mentah juga turun sekitar 6%, harga karet menyusut sekitar 9%, harga tembaga melandai 3,5%, dan bijih besi ambles 5,24%.

Sektor lain yang akan terkena dampak negatif dari resesi adalah sektor usaha yang berorientasi ekspor seperti furnitur, tekstil dan alas kaki, serta produk kayu.  Sebagai catatan, sektor tersebut adalah andalan ekspor Indonesia dengan pasar utama seperti Amerika Serikat dan Amerika Latin.

Merujuk pada data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor alas kaki pada 2021 mencapai US$ 6,19 miliar dan berkontribusi 2,9% terhadap total ekspor.  Ekspor perabot dan penerangan rumah mencapai US$ 3 miliar dan berkontribusi 1,2% terhadap ekspor.

"Tahun depan, mungkin kita sudah mulai terimbas resesi melalui jalur ekspor. Sektor manufaktur berorientasi ekspor kemungkinan akan terimbas oleh resesi global. Indonesia juga harus berhati-hati terhadap kemungkinan penerimaan ekspor pada tahun depan," imbuh Dian.

Penurunan permintaan juga kemungkinan terjadi untuk sektor yang berorientasi pada pasar domestik seperti otomotif, investasi properti, dan elektronik.

Tidak semua sektor ambruk karena resesi. Sejumlah sektor usaha diperkirakan akan tahan banting dan mampu melewati resesi seperti makanan dan minuman, pemerintahan, serta sektor terkait kepentingan publik.

Dian juga menjelaskan terdapat sejumlah sektor usaha yang akan mengalami kenaikan ongkos dalam 1-2 tahun ke depan. Di antaranya adalah sektor usaha yang bergerak di bidang semen, pupuk material bangunan, transportasi, farmasi, kelistrikan, produk makanan hewan, petrokimia, dan plastik.

Foto: Bank Mandiri
Sektor untung dan buntung karena resesi

 

Namun, dalam jangka panjang terdapat sejumlah sektor usaha yang memiliki outlook sangat cerah. Sektor tersebut di antaranya telekomunikasi, layanan kesehatan, industrial estate, hingga nikel. Nikel memiliki prospek cerah karena dukungan penuh pemerintah untuk mengembangkan hilirisasi berbasis nikel.

"Perkembangan industri digital sangat pesat di Indonesia dan pemerintah terus mendukung pertumbuhan sektor tersebut meskipun ada resesi. Industri telekomunikasi akan diuntungkan dalam jangka panjang," ujarnya.

Seperti diketahui, sejumlah lembaga memperkirakan resesi akan terjadi mulai kuartal I tahun depan. Secara teknikal, Amerika Serikat bahkan sudah mengalami resesi pada kuartal II-2022 sementara Inggris dan kawasan Eropa diperkirakan mengalami resesi tahun depan.

Dalam acara yang sama, senior country economist ADB untuk Indonesia Henry Ma mengatakan perang Rusia-Ukraina telah meningkatkan ketidakpastian global, gangguan pasokan, dan volatilitas pada pasar energi dan pangan. Kebijakan lockdown di China juga diperkirakan akan berdampak kepada rantai perdagangan global.

"Kebijakan moneter yang lebih ketat akan menekan permintaan global dan menggoyang pasar keuangan," tutur Henry Ma.

Dengan melihat perkembangan yang terjadi saat ini, ADB mengoreksi pertumbuhan di kawasan negara berkembang Asua menjadi 4,3% pada tahun ini, dari 5,2% pada perkiraan sebelumnya.

Namun, ADB menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini dari 5% menjadi 5,4%. Kenaikan proyeksi terutama ditopang oleh peran ekspor dan mulai menggeliatnya konsumsi domestik.



(mae/mae)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Airlangga Tegaskan Deregulasi Impor Tak Rugikan Negara