RI Pernah Cuan Gila-gilaan Gegara Oil Boom 2X, Sekarang?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Rabu, 21/09/2022 11:55 WIB
Foto: Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia pernah mengalami masa kejayaan industri minyak dan gas bumi setidaknya selama dua kali, yakni pada 1974 dan 1979. Harga minyak melonjak tajam pada periode tersebut.

Kondisi tersebut menguntungkan Indonesia karena saat itu produksi minyak Indonesia juga tengah terkerek naik dan merupakan salah satu negara pengekspor minyak.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bercerita, pada 1974 ketika Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas ekspor, sehingga berdampak pada lonjakan harga minyak dunia. Begitu juga saat Oil Boom kedua pada 1979, yakni ketika Iran melakukan revolusi dan ini juga mengganggu pasokan minyak dunia, sehingga berdampak pada lonjakan tajam harga minyak dunia.


"Kedua periode 'Oil Boom' tersebut menyebabkan Indonesia mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari penjualan minyak, di mana juga berkontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional," ungkapnya dalam acara pembukaan "The 46th IPA Convention & Exhibiton 2022" di JCC, Jakarta, Rabu (21/09/2022).

Arifin juga menyebut bahwa Indonesia pernah mengalami dua kali masa puncak produksi minyak nasional, yakni pada 1977 dan 1995 di mana produksi minyak mencapai lebih dari 1,6 juta barel per hari (bph), utamanya dari Blok Rokan, Jatibarang, Mahakam, dan Arjuna ONWJ.

Sementara puncak produksi gas terjadi pada 2004 yakni mencapai 1,533 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Adapun puncak produksi minyak dan gas nasional terjadi pada 1998 yakni mencapai 2,960 juta BOEPD.

Namun sayangnya, setelah itu, produksi migas RI terus menurun.

"Setelah 1995 produksi minyak terus menurun, begitu juga dengan produksi gas di 2005, karena tak adanya temuan baru yang besar, kurangnya eksplorasi dan investasi, keterbatasan keuangan, Covid-19, dan pergeseran investasi ke energi terbarukan," tuturnya.

Dan kini produksi migas terlihat benar-benar "ambles". Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Agustus 2022 produksi terangkut (lifting) minyak "hanya" sebesar 606,4 ribu bph dan lifting gas 956 ribu bph. Dengan demikian, lifting migas hingga Agustus 2022 tercatat mencapai 1,562 juta BOEPD.

Sementara untuk outlook lifting migas pada APBN 2022 sendiri sebesar 1,597 juta barel setara minyak per hari, terdiri dari lifting minyak bumi sebesar 633 ribu barel minyak per hari dan lifting gas bumi sebesar 964 ribu barel setara minyak per hari.

Pada 2023, Pemerintah dan DPR RI menargetkan lifting minyak dan gas bumi tahun 2023 ditetapkan sebesar 1,769 juta BOEPD, terdiri dari lifting minyak 660 ribu bph dan lifting gas bumi sebesar 1,1 juta BOEPD.

Namun demikian, Arifin mengatakan bahwa pemerintah tetap optimistis untuk meningkatkan produksi migas ke depannya. Pemerintah tetap akan menargetkan peningkatan produksi minyak menjadi 1 juta bph dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.

"Bagaimanapun, kita akan tingkatkan produksi minyak menjadi 1 juta bph dan gas 12 BSCFD melalui beberapa strategi, seperti optimisasi biaya produksi, transformasi sumber daya ke produksi, percepatan Chemical Enhanced Oil Recovery (EOR) dan eksplorasi yang masif untuk menemukan cadangan yang besar, begitu juga dengan pengembangan migas non konvensional," paparnya.

Dari sisi harga minyak, seperti diketahui, sejak Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu, harga minyak terus terkerek naik. Bahkan, sempat menyentuh hampir US$ 128 per barel pada 8 Maret 2022 lalu.

Meski kini sudah menurun di bawah US$ 100 per barel, namun selama dua kuartal tahun ini rata-rata harga minyak di kisaran US$ 100 per barel. Pada Selasa (20/9/2022) minyak Brent tercatat US$ 90,62 per barel, anjlok 1,5% dibanding posisi kemarin. Sementara jenis light sweet atau West Texas Intermediate anjlok 1,49% ke US$ 84,45 per barel.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Iran-Israel Memanas, RI Hadapi Risiko Kenaikan Harga Minyak