Internasional

Bukan Resesi Seks! 'Kiamat' Baru Ancam Jepang: Pekerja Hilang

sef & Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
15 September 2022 14:10
People offer prayers on the first business day of the year at the Kanda Myojin shrine, which is known to be frequented by worshippers seeking good luck and prosperous business, in Tokyo, Japan, January 4, 2019. REUTERS/Kim Kyung-Hoon     TPX IMAGES OF THE DAY
Foto: Jepang (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena 'kiamat' tenaga kerja kini sampai ke Jepang. Perusahaan di negeri tersebut mengalami kekurangan staf kronis sekarang.

Reuters menulis bagaimana pelaku usaha berjuang memikat pekerja, termasuk paruh waktu. Kenaikan upah menjadi salah satu strategi.

"Secara keseluruhan kami menghadapi kekurangan tenaga kerja," kata seorang manajer grosir dikutip Kamis (15/9/2022).

"Kami berjuang untuk memikat pekerja paruh waktu di toko-toko pada khususnya. Kami merespons dengan menaikkan upah tetapi ada batasnya," tambahnya.

Sebenarnya, hal ini telah terungkap dalam jajak pendapat laman yang sama, Agustus lalu. Perusahaan besar memang mulai menaikkan upah untuk menarik pekerja guna mengatasi krisis ini.

"Perusahaan-perusahaan Jepang biasanya menghindari kenaikan upah karena deflasi selama beberapa dekade, membuat sulit untuk membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen," tulis media itu.

"Ini sekarang mungkin berubah, karena pukulan ganda dari harga komoditas yang lebih tinggi dan yen yang lebih lemah menaikkan biaya hidup, dan menyoroti tekanan pada pekerja.

Hal sama juga sudah diisyaratkan pemerintah. Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida pun meminta perusahaan untuk menaikkan upah.

Mengutip Nikkei Asia, Jepang memang telah memiliki banyak lowongan pekerjaan daripada pelamar sejak Juli. Ini seharusnya menjadikan negeri itu tempat pas untuk para pencari kerja.

Namun, populasi usia kerja menyusut drastis. Ini membebani prospek pemulihan dari perlambatan yang disebabkan oleh pandemi.

Dari data bulan yang sama misalnya, ada 1,27 posisi terbuka untuk setiap pencari kerja di Jepang. Ini angka tertinggi dalam sekitar dua tahun dengan sektor yang paling kekurangan adalah hotel, restoran dan manufaktur.

Banyak pengamat menilai kekurangan tenaga kerja ini akan tumbuh lebih serius. Bahkan hingga tahun-tahun ke depan.

"Kekurangan tenaga kerja kronis di negara itu akan tumbuh lebih serius, mengingat pasar tenaga kerja sudah sangat ketat. Padahal kondisi perekonomian belum pulih seperti sebelum pandemi," kata kepala ekonom di Credit Suisse Securities di Jepang kala itu, Hiromichi Shirakawa.

"Tidak dapat dihindari bagi bisnis untuk kini membangun model bisnis baru karena alasan kekurangan tenaga kerja," kata konsultan Pusat Manajemen Strategis & Inovasi di Nomura Research Institute, Shinichiro Umeya.

Nomura Research Institute sendiri memperkirakan Jepang akan menghadapi kekurangan 10,47 juta pekerja pada tahun 2030. Ini sekitar t15% dari keseluruhan tenaga kerja.

Sebelumnya krisis yang sama sudah melanda Malaysia, Australia, Amerika Serikat (AS) hingga Kanada. Pandemi Covid-19 disebut-sebut menjadi salah satu penyebab kurangnya tenaga kerja di negara-negara.

Malaysia kekurangan pekerja migran. Data Juli, produsen mengatakan Malaysia kekurangan 1,2 juta pekerja, sebanyak 500.000 untuk konstruksi, 12.000 untuk kelapa sawit, 15.000 untuk chip, dan 12,000 untuk tenaga medis.

Australia juga melakukan berbagai cara agar mendapatkan pada pekerja kembali. Pekan lalu, pemerintah meningkatkan jumlah migrasi permanen menjadi 195.000 dari tahun keuangan ini, meningkat 35.000 orang.

AS sendiri menghadapi 'kiamat' tenaga kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meski perusahaan menawarkan bonus dan gaji yang tinggi, pekerjaan yang ditawarkan tak kunjung mendapatkan staff.

Kanada juga dilanda fenomena 'pensiun dini' beramai-ramai. Rekor jumlah warga Kanada berusia 55-64 tahun yang pensiun dalam 12 bulan terakhir meningkat.

Resesi Seks

Sementara itu, resesi seks juga melanda negeri ini. Istilah resesi seks sendiri mengacu pada kondisi rendahnya angka perkawinan dan keengganan untuk berhubungan seks yang memicu penurunan angka kelahiran di sebuah negara.

Dalam sebuah laporan resmi terbaru Rabu, angka pria dan wanita di Jepang yang tidak ingin menikah telah memecahkan rekor terbaru pada tahun 2021.Institut Nasional Kependudukan dan Jaminan Sosial menemukan bahwa 17,3% pria dan 14,6% wanita berusia antara 18 dan 34 tahun di Jepang mengatakan mereka tidak berniat untuk menikah.

Angka ini merupakan yang tertinggi sejak kuesioner pertama kali dilakukan pada tahun 1982. Penurunan jumlah pernikahan memiliki konsekuensi terhadap tingkat kelahiran Jepang.

"Pemerintah Jepang telah bekerja untuk meningkatkan angka kelahiran dengan mencoba membantu mereka yang ingin menikah atau memiliki anak untuk memenuhi aspirasi mereka," kata seorang profesor sosiologi di Universitas Chukyo, Shigeki Matsuda, kepada surat kabar Mainichi Shimbun.

"Tetapi jika jumlah orang yang tidak ingin menikah terus meningkat, pemerintah akan dipaksa untuk meninjau kembali kebijakannya, dan itu dapat menyebabkan penurunan kesuburan lebih lanjut."


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 6 Negara Ini Dilanda 'Kiamat' Tenaga Kerja

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular