PLN Bidik Pengadaan Kompor Induksi 300 Ribu Unit di 2022
Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) menargetkan pengadaan kompor induksi pada tahun ini bisa mencapai 300 ribu unit. Hal tersebut sejalan dengan rencana perusahaan yang mendorong program konversi LPG ke Kompor Induksi sebanyak 15,3 juta pelanggan.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan pihaknya telah melakukan market sounding terhadap pabrikan penyedia dalam negeri yang memiliki kemampuan untuk produksi kompor induksi dan membuat modul meter.
"Kami punya spesifikasi juga perlu adanya chipset membaca berapa penggunaannya setiap bulannya petugas catat meter kami untuk itu untuk mendukung program 300 ribu kompor induksi," ujar Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Rabu (14/9/2022).
Menurut dia setelah selesai dilakukan market sounding dapat disimpulkan bahwa pabrikan penyedia kompor induksi dalam negeri yakni 11 pabrikan lokal) secara kapasitas produksi memiliki kesiapan yang cukup dan mampu menyediakan kompor induksi. Terutama untuk kebutuhan sebesar 300 ribu kompor induksi di tahun 2022.
"Kami sudah komunikasi intensif kompetisinya akan jauh lebih sehat lagi dimana akan banyak pabrik bisa partisipasi dalam proses lelang untuk pengadaan dalam kompor induksi tersebut," ujarnya.
Seperti diketahui, program konversi LPG ke Kompor Induksi sebanyak 15,3 juta pelanggan akan menghemat APBN sebesar Rp 85,6 triliun selama 5 tahun setelah pelaksanaan program. Adapun biaya paket konversi berupa kompor, utensil, pemasangan jalur khusus memasak dapat dialokasikan dari pengalihan sebagian penghematan subsidi.
Sementara, jika program konversi LPG ke kompor induksi diperluas untuk seluruh pelanggan PLN yang menjadi pengguna LPG 3 Kg sebanyak 69,4 juta, maka akan menghemat belanja impor LPG sebesar Rp 44 triliun per tahun. Sedangkan apabila program konversi hanya untuk 15,3 juta pelanggan, akan menghemat belanja impor LPG sebesar Rp 10,21 triliun per tahun.
"Hemat biaya impor LPG dengan program konversi di tahun 2028 yakni Rp 10,21 triliun per tahun," kata Darmawan.
(pgr/pgr)