
Waspada 'Kiamat' Dolar, BI & Pemerintah Lakukan Ini Dong!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kacau balau ekonomi global akhirnya dirasakan oleh Indonesia. Setelah krisis energi global yang andil mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Kini, Indonesia dihadapi oleh kekeringan pasokan valuta asing (valas), termasuk dolar AS. Kekeringan ini memicu ketatnya persaingan mendapatkan dolar AS.
Alhasil, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah akhir-akhir ini. Mata uang Garuda melemah 0,17% terhadap dolar AS secara point-to-point sepanjang bulan ini. Adapun secara tahunan, depresiasinya mencapai 4,42%.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani menuturkan likuiditas dolar yang seret dipicu setelah bank sentral AS menaikkan suku bunga, sementara Bank Indonesia (BI) lambat meresponsnya dengan penyesuaian di dalam negeri. Efeknya, modal di dalam negeri terbang keluar negeri (capital outflow).
"Investor mencari suku bunga mana yang baik buat mereka sehingga sekarang terjadi apa namanya perebutan, dana investor di seluruh dunia saling menaikkan suku bunga sehingga harus diakui banyak capital outflow saat itu," ujar Aviliani dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (9/9/2022).
Pada Agustus lalu, BI telah menaikkan suku bunganya. Namun, Aviliani mengungkapan suku bunga AS masih menarik bagi investor. Untuk menyiasati ini, pemerintah sampai turun tangan dengan mengeluarkan global bonds.
"Itu harapannya investor asing yang keluar itu bisa masuk kembali."
Kemudian, pundi-pundi valas dapat terisi. Faktor kedua yang menyebabkan perebutan valas di pasar keuangan adalah maraknya investasi setelah Covid-19 berangsur melandai.
Ketika investasi bangkit, kebutuhan impor pun naik. Impor tersebut membutuhkan valas yang lumayan besar.
"Investasi itu orang kan belum banyak pada saat itu (pandemi) tapi sekarang di luar dugaan investasi meningkat, impor juga meningkat jadi dibutuhkan dana untuk impor dan dana untuk investasi itu yang menyebabkan shortage yang selama dua tahun tidak terjadi," ujarnya.
Aviliani berharap pemerintah dan BI kembali membuka kembali relaksasi aturan terkait dengan denda devisa hasil ekspor (DHE). Namun, dia menyarankan pemerintah dan BI juga memberikan insentif kepada eksportir.
Pasalnya, keengganan ekspotir memarkirkan keuntungannya di dalam negeri cukup besar, mengingat risiko nilai tukar rupiah yang berfluktuatif. Padahal, DHE ini diperkirakan sangat signifikan di tengah tingginya ekspor komoditas.
"Sebenarnya kita lebih banyak impornya dibanding ekspornya, tapi dua tahun ini karena harga komoditas naik, sebetulnya kenaikannya (ekspor) cukup tinggi dan itu bisa kelihatan dari pajak yang diterima pemerintah cukup tinggi. Sebetulnya DHE itu lebih tinggi," ungkapnya.
Ke depannya, dengan adanya megaproyek pengembangan industri baterai listrik di Indonesia, dia yakin potensi DHE akan lebih besar lagi.
Namun, sekarang ini, dia menilai sulit untuk memaksa eksportir menaruh DHE-nya di dalam negeri. Oleh karena itu, Aviliani menyarankan sejumlah langkah jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah dan BI.
Pertama, BI harus membantu sistem repo untuk membantu perbankan menjaga likuiditasnya.
"Buat repo ini perlu jangka panjnag sehingga bank punya likuiditas untuk kredit valas, sehingga bisa dipenuhi jika tidak nanti bank asing yang akan masuk ke Indonesia," kata Aviliani yang juga dikenal sebagai Ekonom Senior Indef.
Kedua, membenahi sistem DHE dengan fokus ke sisi insentif. Salah satu yang disorotinya adalah kebijakan Peraturan Bank Indonesia atau PBI No. 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor (PBI DHE dan DPI).
"Jadi mungkin kebijakan PBI 2019 perlu diperbaiki agar orang-orang tertarik menempatkan dananya di Indonesia dan itu bisa ditanya apa sebenarnya yang menjadi problem mereka dan berapa sih costnya sehingga mereka tidak mau menaruh uangnya di Indoensia," kata Aviliani.
Langkah ketiga lebih bersifat jangka menengah dan panjang. Dia melihat pemerintah dan semua pihak harus memperkuat basis industrinya. Menurutnya, 10-20 tahun terakhir, industri di dalam negeri tidak ada perubahan.
Alih-alih berubah, produktivitas industrinya malah makin turun. Akibatnya, lanjut Aviliani, DHE Indonesia makin turun karena produktivitas yang lesu tadi.
"Kalaupun naik karena harga, tetapi kalau harga turun lagi tahun depan kemungkinan ya turun lagi. Menengah panjang basis industri itu harus didukung."
Keempat, pengetatan impor di sisi e-commerce. Di era digitalisasi seperti ini, Aviliani melihat banyak sekali barang impor perdagangan dari e-commerce. Ketika impor di e-commerce tidak terkendali, ini akan menyebabkan kondisi likuditas valas kita semakin rendah.
Dia berharap komitmen pemerintah untuk mendukung pembelian produk dalam negeri harus terus diperkuat. Selain itu, sikap ini harus dibarengi dengan kemandirian pangan dan energi.
"Itu juga untuk mengurangi devisa keluar," tegasnya.
Kelima, dia menuturkan devisa Indonesia bocor di sisi reasuransi. Selama ini, nilai asuransi masyarakat di dalam negeri cukup besar. Namun, Indonesia harus mengeluarkan dana reasuransi ke luar negeri.
"Nah, di Indonesia perlu adanya perusahan BUMN reasurani yang sangat besar yang bisa menampung asuransi-asuransi gedung-gedung yang selama ini direasuransi," tambah Aviliani.
Keenam, masalah klasik terkait transportasi. Selama ini, kegiatan ekspor dan impor masih menggunakan armada asing. Persiapan membangun transportasi yang kuat untuk menangani ekspor dan impor harus terus dilakukan.
Hal-hal ini, kata Aviliani, yang harus menjadi fokus pemerintah agar devisa negara tetap kuat dan likuiditas valas terjaga.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Racik Insentif Demi Dolar AS Betah di RI, Ini Bocorannya!