
AS Bisa Kena 'Kiamat' Gara-Gara Masalah Ini

Jakarta, CNBC indonesia - Amerika Serikat (AS) diprediksi akan mengalami masalah yang besar dalam upayanya menyokong industri semikonduktor. Pasalnya, permintaan terkait komponen penting itu saat ini menyusut.
Pada bulan lalu, Presiden AS Joe Biden menandatangani undang-undang Chips and Science Act yang ditujukan untuk melawan dominasi China dalam bidang ini.
Bahkan, Biden menekan undang-undang itu dengan subsidi senilai US$ 52 miliar seraya menegaskan bahwa hal ini dilakukan untuk membantu mengatasi kekurangan chip di negara itu.
Namun para analis mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Pasalnya, terjadi penurunan permintaan chip yang tiba-tiba.
Perancang chip Nvidia telah melaporkan bahwa pendapatan unit gamenya turun 44 persen dari kuartal sebelumnya. Perusahaan lainnya, Micron Technology, mengatakan permintaan turun dengan cepat.
Analis di S&P Global Market Intelligence, John Abbott, mengatakan dalam sebuah blog pada 22 Agustus lalu bahwa industri semikonduktor secara historis memiliki siklus, dan sifat siklus akan terus berlanjut meskipun ada subsidi baru.
"Dalam satu atau dua tahun, kita kemungkinan akan melihat kelebihan kapasitas, setidaknya untuk sementara, yang akan menguji tekad perusahaan-perusahaan yang telah berkomitmen pada pembangunan yang mahal," tulisnya seperti dikutip China Daily, Selasa (6/9/2022).
Abbott juga menambahkan bahwa undang-undang ini juga cukup berbahaya bagi perusahaan chip yang mungkin ingin menjual kelebihan suplai ke China. Pasalnya, ia merasa undang-undang ini justru membatasi perusahaan untuk bermitra dengan negara asing.
"Kondisi proteksionis yang melekat pada subsidi mungkin memaksa industri chip untuk membatasi kemitraan dan penjualan di luar negeri. Jika perusahaan chip AS tidak bisa lagi menjual ke China, mereka kehilangan pasar terbesar untuk produk mereka."
Analis lainnya, profesor hukum di Universitas Stanford, Alan Sykes, juga mengatakan subsidi untuk perusahaan chip yang dituangkan AS ini tidak memiliki landasan yang jelas. Hal ini diakibatkan oleh sifat semikonduktor yang cocok untuk perdagangan strategis antar negara.
Sykes bahkan membandingkan undang-undang itu dengan kebijakan 'buy American' ala Presiden Donald Trump. Menurutnya, kebijakan semacam itu mendorong produksi dengan biaya yang lebih tinggi serta inefisiensi di tubuh perusahaan.
"Dalam hal itu, hampir tidak jelas bahwa manufaktur chip, terutama chip 'komoditas' yang sekarang paling sering dibuat di luar negeri, cocok untuk kerangka 'perdagangan strategis'," paparnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perusahaan Chip Global Ramai-ramai Nyungsep, Ada Apa?