
Banyak Negara Bersitegang, G20 Sempat Terancam Bubar

CNBC Indonesia, Jakarta - Perang antara Ukraina dan Rusia berdampak besar bagi kondisi ekonomi dan politik dunia. Tidak hanya menganggu pasokan barang pangan dan energi, konflik dua negara ini berdampak pada perhelatan Group 20 (G20) tahun ini, dimana presidensinya diemban oleh Indonesia.
Seperti diketahui, Presiden AS Joe Biden beberapa waktu lalu mendesak agar Rusia dikeluarkan dari aliansi G20, sebagai hukuman atas invasi Rusia ke Ukraina.
Desakan ini pun didukung oleh beberapa negara G70. Hal ini cukup menganggu bagi Indonesia yang akan menjadi tuan rumah G20 summit pada kuartal III-2022.
Direktur dan Kepala Grup Departemen Kebijakan Internasional International BI Haris Munandar mengakui bahwa Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 memang dihadapkan oleh masalah geopolitik yang dinamis, terutama saat mempersiapkan bahasan G20 untuk finance track.
"Kita tidak menyangka ada dinamika tersebut yang membawa risiko bukan hanya sulitnya untuk memperoleh konsensus semacam Communiqué, tetapi juga risiko G20 bisa jadi G19 atau G13 atau potensi hilang sama sekali," paparnya, dalam webinar ISEI Jakarta Indonesia dan Presidensi G20: Perkembangan Terkini, Prospek dan Relevansi, Senin (5/9/2022).
Dia pun menceritakan bagaimana sulitnya mencapai communique dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada Juli 2022, beberapa negara enggan memakai kata perang untuk mengambarkan kondisi antara Ukraina dan Rusia.
"Pada saat pembahasan global economy dan global risk, ini seperti diprediksi ada dua kutub atau dua pihak yang masing-masing bertahan pada posisi red line atau tidak bisa ke tengah lagi untuk kompromi," ungkapnya.
Menurut Haris, keduanya enggan menggunakan kata-kata 'war' atau 'perang' untuk mengambarkan kondisi Ukraina dan Rusia. Padahal, kondisinya sudah jelas mengambarkan perang.
Kelompok G7, seperti AS, Eropa, dan Kanada, bertahan untuk menggunakan kalimat 'invasi ke Ukraina'.
Sementara itu, Rusia dan China serta India, tidak ingin memakai kata perang. Alih-alih menggunakannya, mereka milih kata 'konflik'.
"Paling jauh dispute, jadi tidak akan ketemu area ini," ungkapnya.
Setelah ada perbedaan, communique atau pernyataan bersama dari pertemuan gubernur dan menteri keuangan G20 tidak tercapai.
Namun, dia mengungkapkan finance track G20 masuk ke dalam topik per topik dan agenda per agenda dengan detil.
"Kita sepakat membuat chair summary, yang merupakan konsensus di sebagian tempat dan pencatatan di bagian lain," katanya.
Dari chair summary sebanyak 14 paragraf, Haris menambahkan hanya dua paragraf yang ada masalahnya (dispute), yakni paragraf 1 dan 2 tentang ekonomi global dan risiko politik.
Sementara itu, paragraf 3 sampai 14 berisikan konsensus soal bauran kebijakan, risiko keuangan digital serta inklusi keuangan dan lainnya.
Akibat adanya perbedaan ini, paragraf 1 dan 2 harus menuliskan dengan rinci perihal pandangan-pandangan dari anggota G20 mengenai perang di Ukraina dan Rusia.
"Kita summary-kan, itu maksimum yang kita buat," tegasnya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David E. Sumual menilai untuk menghadapi tantangan dalam G20 saat ini, Indonesia perlu memiliki kelihaian menegahi konflik.
Sejauh ini, dia melihat komitmen Presiden Joko Widodo untuk mengembalikan isu besar G20 dari politik ke ekonomi.
"Kita lihat manuver-manuver pemerintah, Presiden Joko Widodo mengunjungi Ukraina, Rusia dan mengunjungi tiga negara G20 di Asia Timur, Jepang, China dan Korea Selatan dalam hal mendapatkan kesepakatan dalam isu-isu penting yang kita ingin dorong," kata David.
Dengan demikian, dia melihat fokus Presidensi Indonesia sekarang adalah mendorong isu-isu yang bisa mempersatukan G20, bukan sebaliknya.
(haa/haa) Next Article Heboh! Negara G20 Kutuk Aksi Rusia, China Tak Sepakat