
Harga BBM Naik, Gelombang PHK Bakal Terjadi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah resmi menaikkan harga Pertalite, Pertamax dan Solar pada akhir pekan lalu. Kenaikan harga tersebut dikhawatirkan makin membebani perusahaan sehingga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Seperti diketahui, pada Sabtu (3/9/2022), pemerintah menaikkan harga Pertalite sebesar 30,8% menjadi Rp 10.000/liter, Solar naik 32% menjadi Rp 6.800 dan Pertamax naik 16% menjadi Rp 14.500.
Jika dihitung rata-rata, kenaikan harga ketiga jenis BBM tersebut naik 26,3%. Kenaikan lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang di atas 33%.
Menyusul kenaikan tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meyakini kenaikan harga BBM subsidi tidak akan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.
Pasalnya, perekonomian Indonesia bergerak menuju pemulihan bahkan ke arah normal. Pelonggaran mobilitas juga akan menopang permintaan masyarakat sehingga aktivitas ekonomi dan perusahaan masih berjalan.
Hariyadi menegaskan apa yang terjadi saat ini tidak seburuk masa awal pandemi Covid-19 di mana aktivitas ekonomi terhenti karena pembatasan mobilitas.
"Ngga akan ada PHK. Ini situasinya beda saat pandemi Covid-19. Kalau pandemi itu tidak ada aktivitas ekonomi, Permintaan hilang sehingga perusahaan tidak bisa menjual barang. Hotel tidak ada tamu sehingga perusahaan melakukan PHK," tutur Hariyadi, kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan selama masih ada permintaan masyarakat maka roda perusahaan bisa berjalan. PHK mungkin terjadi di sejumlah perusahaan tetapi itu lebih karena internal perusahaan bukan karena kenaikan harga BBM. "Sekarang aktivitas ada. Demand masih ada. Ga ada alasan ke sana (PHK)," ujarnya.
Berbeda dengan Hariyadi, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mengingatkan kenaikan harga BBM akan semakin mengancam kehidupan pekerja, tidak terkecuali PHK.
Sebagai bentuk protes, ASPEK Indonesia telah mengirimkan surat kepada sembilan Partai Politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), terkait penolakan kenaikan harga BBM.
"Kondisi rakyat kecil saat ini sangat sulit. Sebelum harga BBM naik saja, harga-harga kebutuhan bahan pokok telah naik melambung. Kondisi jutaan pekerja yang ter-PHK masih belum mendapatkan kepastian pekerjaan dan upah yang layak," tutur Dewan Pimpinan Pusat ASPEK Mirah Sumirat, dalam keterangan resminya.
Dia mengatakan kenaikan harga BBM membuktikan pemerintah tidak peduli dengan kondisi riil masyarakat. Kenaikan harga BBM akan sangat memukul daya beli rakyat, memicu lonjakan inflasi dan juga akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
"Tugas Pemerintah adalah untuk mensejahterakan rakyat, bukan membebani rakyat apalagi mengeluh kepada rakyat!"ujarnya.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM berdampak cukup signifikan tidak hanya kepada angka kemiskinan tetapi juga tenaga kerja.
Pada 2005-2014, pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak lima kali yakni Maret dan Oktober 2005, Mei 2008, Juni 2013, dan November 2014.
Data menunjukkan jumlah karyawan/buruh yang bekerja berkurang setelah kenaikan harga BBM rata-rata sebesar 114% pada Oktober 2005.
Pada survei November 2005, jumlah karyawan/buruh/pekerja tercatat 26,02 juta. Jumlah tersebut berkurang menjadi 25,97 juta pada survei per Februari 2006. Jumlah karyawan/buruh yang bekerja naik kembali pada survei per Agustus 2006 menjadi 26,82 juta.
Pada kenaikan harga BBM Mei 2008, jumlah karyawan/buruh yang bekerja juga berkurang drastis dari 28,52 juta pada survei per Februari 2008 menjadi 28,18 juta pada Agustus 2008.
Setelah kenaikan BBM Juni 2013, jumlah karyawan/buruh yang bekerja juga berkurang dari 42,05 juta pada survei Februari 2013 menjadi 41,12 juta pada survei per Agustus 2013.
Penurunan jumlah karyawan/buruh yang bekerja tidak terjadi setelahh kenaika harga BBM November 2014.
Survei BPS pada Agustus 2014 menunjukkan jumlah karyawan/buruh yang bekerja mencapai 42,38 juta per Agustus 2014 dan naik menjadi 46,62 juta pada survei per Februari 2015.
Penurunan jumlah karyawan/buruh yang bekerja paling signifikan terjadi pada setahun setelah pandemi Covid-19.
Survei BPS per Februari 2020 atau sebelum pandemi melanda dunia menunjukkan jumlah karyawan/buruh mencapai 52,89 juta. Jumlah tersebut anjlok hingga 6,17 juta menjadi 46,72 pada survei per Agustus 2020.
(mae/mae) Next Article Video: Harga Pertamax Cs Tinggi, Waspada Migrasi Ke Pertalite