Harga Minyak Turun Terus, Pertalite-Solar Masih Perlu Naik?
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia terus melandai sejak pertengahan Agustus lalu. Namun, penurunan harga minyak saja dinilai belum cukup untuk menekan beban subsidi BBM.
Melansir data Refinitiv, Pada Jumat (2/9/2022) pukul 06:37 WIB, harga minyak jenis brent tercatat US$ 92,66/barel. Anjlok 3,11% dari posisi penutupan sebelumnya.
Sedangkan yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 87,08/barel. Ambles 2,76%.
Dalam sepekan terakhir, harga brent dan light sweet sama-sama berkurang 5,86% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang, harga ambrol 6,03% dan 6,56%.
Harga minyak juga terus menjauh dari level psikologis US$ 100 per barel sejak Selasa pekan ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi Maret-Juli di mana harga minyak mentah dunia selalu di atas US$ 100 per barel.
Harga minyak mentah dunia sebenarnya sudah bergerak turun secara signifikan sejak awal Juli saat isu resesi menguat. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia/ICP yang ditetapkan Kementerian ESDM pun sudah turun dari US$117,62 per barel pada Juni 2022 menjadi US$106,73 per barel pada Juli. Hitungan ICP yang lebih rendah ini akan menjadi patokan dalam besaran subsidi.
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengingatkan harga minyak mentah hanya satu parameter dalam menentukan besaran subsidi. Pergerakan nilai tukar rupiah dan konsumsi menjadi parameter lain dalam perhitungan subsidi. Konsumsi BBM inilah yang menurut Fabby harus menjadi perhatian utama pemerintah.
"Pembeli kan rasional. Kalau harganya naik diharapkan bisa lebih rasional dalam menggunakan BBM. Kalau dengan harga yang sekarang orang bisa jadi boros. Ke mana-mana naik mobil pribadi. Harga yang disubsidi merangsang konsumsi yang excessive," tutur Fabby, kepada CNBC Indonesia.
Seperti diketahui, PT Pertamina Patra Niaga anak usaha PT Pertamina (Persero) mencatat kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite tersisa 3,55 juta Kilo Liter (KL) sampai akhir Agustus 2022 dari yang ditetapkan tahun ini mencapai 23,05 juta KL.
Selain Pertalite, kuota BBM Solar Subsidi juga sekarat, penyaluran Solar Subsidi sudah mencapai 10,9 juta KL dari yang ditetapkan sebesar 14,9 juta KL. Itu Artinya, sisa kuota Solar Subsidi hanya tersisa 4 juta KL.
Fabby menambahkan disparitas harga antara BBM subsidi dan non subsidi juga bisa terus merongrong kuota BBM. Pembeli akan beralih menggunakan BBM yang murah jika disparitas harga terlalu besar. Kondisi ini akan membuat konsumsi rawan jebol dan subsidi membengkak karena penggunaan terus meningkat.
Fabby menjelaskan pemerintah bisa melakukan pembatasan konsumsi untuk menekan penggunaan BBM jika opsi kenaikan tidak diambil.
"Misalnya dengan hanya membatasi Pertalite untuk motor saja atau membatasi pembelian Pertalite per hari. Atau jika kuota habis ya Pertamina tinggal menjual BBM jenis tertentu yang ada saja," ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan pengendalian konsumsi akan menjadi kunci untuk menekan beban subsidi. Kenaikan harga merupakan salah satu cara untuk menekan konsumsi. "Konsumen kan realistis. Kalau harus berhemat ya mereka harus berhemat," ujarnya.
Merujuk data Kementerian ESDM, Pertalite merupakan jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Konsumsi Pertalite melonjak drastis dalam tiga tahun terakhir. Bila pada 2019, konsumsi Pertalite mash tercatat 19,41 juta KL maka pada 2021 tercatat 23,30 juta KL.
Konsumsi memang sempat menurun menjadi 18,14 juta pada 2020 tetapi itu terjadi di tengah masih ganasnya pandemi Covid-19 dan terbatasnya mobilitas masyarakat. Dengan mobilitas yang kini diperlonggar dan ekonomi yang tengah pulih, konsumsi Pertalite diyakini akan melonjak pada tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)