Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana menaikkan harga BBM subsidi, termasuk Pertalite dan Solar. Kenaikan harga BBM tersebut diperkirakan akan ikut menekan daya beli hingga menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengingatkan permintaan domestik Indonesia masih akan terakselerasi pada semester II-2022 sejalan dengan pelonggaran mobilitas. Namun, inflasi dan kenaikan harga BBM bisa melambungkan inflasi Indonesia dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Dia memperkirakan jika harga Pertalite dinaikkan dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter maka inflasi bisa terdongkrak hingga 0,82 percentage point (ppt). Sebaliknya, pertumbuhan bisa terpangkas hingga 0,17 ppt.
Jika harga Solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 8.500 per liter maka inflasi akan terdongkrak hingga 0,33 ppt. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi bisa melandai hingga 0,07 ppt.
"Akan ada kenaikan inflasi tajam yang tidak hanya datang dari first round impact akibat kenaikan harga BBM tetapi juga second round impact dari kenaikan harga barang dan jasa, seperti transportasi," tutur Faisal, dalam Macro Brief.
Sebagai catatan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada tahun ini. Pada kuartal I-2022, ekonomi domestik tumbuh 5,01% dan kuartal II-2022 menembus 5,44% sehingga semester I-2022 secara kumulatif sebesar 5,23%.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM subsidi. Pada 2005, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,7%, di bawah target yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar 6%. Pada tahun tersebut, pemerintah menaikkan harga BBM subsidi dua kali yakni rata-rata Rp 29% per 1 Maret dan 114% per 1 Oktober 2005.
Kenaikan tersebut berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang terus menurun dari 6% pada kuartal I-2005 menjadi 5,9% pada kuartal II, 5,8% pada kuartal III, dan 5,1% pada kuartal IV-2005.
Kenaikan harga BBM juga menekan konsumsi rumah tangga yang mencerminkan kekuatan daya beli masyarakat. Bila pada 2004, konsumsi rumah tangga bisa tumbuh 5% maka pada 2005 hanya mencapai 4%.
Kenaikan BBM dua kali dalam setahun juga langsung melambungkan angka kemiskinan pada tahun berikutnya. Pada 2006, jumlah penduduk miskin tercatat 39,3 juta, melonjak dibandingkan pada 2005 yang tercatat 35,10 juta.
Pada Mei 2008, pemerintah menaikkan harga BBM subsidi rata-rata 24%. Pada tahun tersebut, ekonomi Indonesia tumbuh 6%, di bawah target yang ditetapkan yakni 6,4%. Pertumbuhan tersebut juga lebih rendah dibandingkan pada 2007 yang tercatat 6,3%.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga terus mengalami penurunan dari 5,7% pada kuartal I menjadi 5,5% pada kuartal II, 5,3% pada kuartal III, dan 4,8% pada kuartal IV.
Pengalaman serupa terjadi pada 2013 di mana harga BBM dinaikkan Pada tanggal 22 Juni 2013. pemerintah menaikkan harga premium sebesar Rp 2.000 per liter dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter, dan harga solar sebesar Rp 1.000 per liter dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter.
Pada tahun tersebut, ekonomi domestik hanya tumbuh 5,7% atau jauh di bawah target yang ditetapkan dalam APBN-P yakni 6,3%. Konsumsi rumah tangga juga terus melandai dari tumbuh 5,68% pada kuartal I menjadi 5,38% pada kuartal II, 5,32% pada kuartal III, dan 5,33% pada kuartal IV-2013.
Laporan Perekonomian Bank Indonesia tahun 2013 mencatat perlambatan ekonomi berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan. Secara keseluruhan tahun, jumlah penduduk miskin pada September 2013 mencapai 28,55 juta orang (11,5% dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut bertambah sekitar 480.000 orang dari periode Maret 2013.
"Kenaikan angka kemiskinan tersebut antara lain dipengaruhi melambatnya perekonomian dan perkembangan harga-harga yang meningkat karena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juni 2013," tulis Laporan Perekonomian BI tersebut.
Pada November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM subsidi rata-rata sebesar 33,57%. Kenaikan tersebut berdampak langsung terrhadap kinerja ekonomi pada kuartal IV.
Secara tradisi, ekonomi domestik akan tumbuh tinggi pada kuartal terakhir karena ada perayaan Natal dan tahun baru. Namun, pada tahun tersebut, konsumsi rumah tangga hanya bisa tumbuh 5,08%, jauh di bawah kuartal kuartal III yakni 5,12% atau kuartal I yang tercatat 5,23%.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam kajiannya Menimbang Berbagai Alternatif Penyesuaian Harga BBM Premium dan Dampaknya terhadap Perekonomian menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terpangkas saat ada kenaikan harga BBM meskipun pemerintah sudah menyalurkan bantuan langsung tunai kepada kelompok paling rentan.
"Pada level makro pemberian BLT tersebut belum dapat mengurangi efek negatif dari kenaikan BBM secara signifikan. Pada akhir kuartal 2014, pemberian BLT hanya mampu mengurangi laju perlambatan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,01% dibanding skenario kebijakan tanpa BLT," tulis laporan tersebut.
Bank Dunia dalam laporannya BLT Temporary Uncondiotinal Cash Transfer dan Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia juga mengatakan BLT pada tahun 2005 dan 2008 terbukti efektif dalam meningkatkan perlindungan sosial ke masyarakat di tengah kenaikan harga.
"BLT efektif memberi perlindungan kepada rumah tangga miskin dari dampak kenaikan harga BBM dan memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasar mereka, terutama makanan," tutur World Bank.
Namun, laporan tersebut mengingatkan bahwa BLT tidak efektif untuk menekan angka kemiskinan. Makanan berperan besar dalam penentuan garis kemiskinan karena 60-75% pendapatan warga miskin dihabiskan untuk membeli makanan.
Sebagai catatan, kenaikan BBM selalu disertai dengan sejumlah penyaluran bantuan sosial (bansos) seperti BLT. Pada 2005, misalnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyalurkan BLT sebesar Rp 1,2 juta per kepala rumah tangga untuk empat bulan. Pada 2008, BLT senilai Rp 900 ribu juga diberikan untuk kurun waktu tiga bulan.
TIM RISET CNBC INDONESIA