Pak Jokowi, Bahaya Menghantui RI Jika Harga BBM Naik Sekarang
Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam waktu dekat dinilai perlu untuk ditinjau kembali. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan atas kenaikan harga BBM itu akan luar biasa, apalagi di tengah upaya pemulihan ekonomi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM khususnya jenis Pertalite perlu dicermati baik-baik. Terutama dengan melihat kondisi masyarakat miskin saat ini setelah inflasi bahan makanan sampai Juli 2022 secara year on year (yoy) menembus 11%.
Apalagi bukan hanya masyarakat miskin saja, masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Khususnya bagi mereka yang sebelumnya kuat membeli Pertamax, namun karena harga Pertamax naik mulai bermigrasi menggunakan Pertalite.
Dengan kondisi tersebut, maka sudah pasti kelas menengah akan mengorbankan belanja lain. Seperti contoh misalnya, Kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan mengorbankan belanja lain.
"Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Selasa (30/8/2022).
Lebih lanjut, Bhima mengatakan jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, maka Indonesia dapat menyusul negara lain yang masuk fase Stagflasi. Imbasnya yakni 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam.
Menurut Bhima sepanjang Januari hingga Juli 2022, serapan subsidi energi berdasarkan data APBN Kita baru mencapai Rp 88,7 triliun. Sementara APBN tengah surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57% dari PDB di periode Juli.
Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk mendorong penerimaan negara. Sehingga ia pun mempertanyakan rencana kenaikan di tengah APBN yang mengalami surplus.
"Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," kata dia.
Bhima pun menyarankan agar pemerintah bisa melakukan revisi aturan untuk menghentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar. Dengan tutup kebocoran solar, paling tidak pemerintah bisa menghemat pengeluaran subsidi karena 93% konsumsi solar adalah jenis subsidi.
"Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis Pertalite," katanya.
(pgr/pgr)