Lika-liku Kenaikan Harga BBM di Era Soeharto Hingga Jokowi

Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
28 August 2022 18:00
SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Naik turun harga tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak sebelum era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Pada pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan tujuh kali harga BBM selama 10 tahun dengan kenaikkannya mencapi 370% atau 185% per periode. Kala itu harga minyak dunia melonjak 54% dari US$50 pada Oktober 2014 menjadi US$77 perbarel di Oktober 2014.

Presiden Megawati Soekarnoputri dalam 3 tahun 3 bulan menjabat menaikkan harga Premium 4 kali. Kala itu harga minyak dunia meronet 108,3% dari US$24 (Juli 2001) menjadi US$50 per barel (Oktober 2004).

Sedangkan Abdurahman Wahid (Gus Dur) menaikkan harga BBM dua kali. Saat dia memimpin harga minyak dunia naik 9,1% dari
US$22/barel (Oktober 1999) menjadi US$24/barel (Juli 2001).

Presiden Soeharto selama berkuasa 31 tahun 2 bulan menaikkan harga BBM sebanyak 32 kali. Menurut catatan CNBC Indonesia, hanya Presiden Soekarno dan Presiden BJ Habibie yang tidak menaikkan harga, bahkan saat pemerintahan Habibie harga Premium pernah turun satu kali.

Jokowi juga sempt menaikkan harga BBM selama menjadi presiden. Terbaru rencana kenaikan itu telah bergulir sejak minggu lalu.

Besaran kenaikan itu masih dalam kajian. Pertimbangannya adalah tidak mengganggu daya beli masyarakat, termasuk inflasi yang tidak terlalu tinggi.

Dilaporkan Pertaminan kemungkinan masih berada diharga di bawah Rp 10.000 per liter. Kemungkinan range kenaikkannya adalah Rp 1.000 hingga Rp 2.000 dari yang saat ini yaitu Rp 7.650 per liter.

Pertamina masih akan berada di bawah Rp 10.000 per liter dengan range kenaikan Rp 1.000 sampai Rp 2.500 dari harga yang saat ini Rp 7.650 per liter.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menekankan soal alokasi anggaran dan kompensasiterkait energi tahun ini sangat besar. Sebagai informasi jumlahnya mencapai Rp 502 triliun dan jika tidak dikurangi akan mempengaruhi APBN tahun depan.

"Angka ini sangat besar dan rill, dan ini masih belum cukup dan masih berpotensi menambah Rp 195 triliun dengan tren harga minyak dan volume konsumsi oleh masyarakat," ujarnya dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (26/8/2022).

"Ini yang kami sampaikan ke media, karena kalau Rp 195 triliun tidak kita sediakan di tahun ini maka akan ditagih di 2023 APBN kita".

Sri Mulyani menambahkan pemerintah menjaga defisit APBN tetap di bawah 3%. "Jadi kalau ada tagihan di 2022 sudah terpakai separuhnya, pasti anggaran kompensasi dan susbidi tak mencukupi. Artinya efeknya ke belakang. Ini situasi APBN kita," ungkapnya.

Dia menambahkan jika alokasi energi hanya untuk BBM, maka tidak akan cukup untuk kebutuhan energi selain BBM. Sementara itu setiap bulannya anggara negara masih tercatat surplus karena tagihannya tercatat bulan September.

"Tagihan Rp 502 triliun waktu akan datang setelah diaudit bpkp saat september. Sehingga nanti akan adjusted akan langsung habis untuk bayar itu," imbuhnya.

Bersama dengan Presiden, pihak Kementerian Keuangan terus menghitung besaran ruang fiskal serta berkomunikasi dengan DPR untuk mengelola APBN secara hati-hati. Namun subsidi ratusan triliun dianggap salah sasaran karena digunakan mayoritas oleh masyarakat mampu, ungkap Sri Mulyani.


(npb)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Ramai-Ramai Obral BBM dan SPBU!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular