
Begini Ramalan Bos Pengusaha Soal Harga Mi Instan & BBM

Jakarta, CNBC Indonesia - Potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah di depan mata. Efek kebijakan tersebut diprediksi bakal meluas dan memicu mahalnya bahan baku, termasuk harga makanan dan minuman.
Namun, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman menilai kenaikan harga itu tidak banyak berpengaruh terhadap harga produk olahan akhir. Bisa jadi ada kenaikan, imbuh dia, namun tidak begitu signifikan karena pengaruh ke biaya logistiknya pun tergolong kecil.
"Kenaikan harga BBM otomatis pengaruh ke kenaikan biaya distribusi logistik. Rata-rata biaya distribusi logistik industri makanan 3-8%, tergantung jenis komoditas dan harganya," katanya dikutip Kamis (25/8/22).
"BBM biaya pengaruh ke logistik di 6%, tergantung naiknya (harga BBM) berapa? Misal kenaikan BBM 30%, kalau biaya logistik rata-rata 6%, berati naiknya 15% dari 6% itu, saya kira pasti ada kenaikan biaya logistik tapi ngga besar," tambah dia.
Salah satu makanan yang menjadi perhatian akibat kenaikan harga BBM adalah mi instan. Makanan ini sudah mengalami kenaikan harga sebelum kenaikan itu terjadi, namun tidak sampai 3x lipat seperti prediksi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
"Mi instan saya pantau awalnya Rp 2.200-3.000, sekarang range 2500-3200, artinya kenaikan nggak sebesar 3x lipat. Kenapa? Karena industri kurangi margin, iya dong industri mengurangi margin melihat daya beli masyarakat," ujarnya.
Menurunnya daya beli masyarakat memang menjadi tantangan industri dalam menjual produknya dan bisa menjadi semakin besar jika kenaikan harga BBM resmi terjadi. Namun, Adhi memperkirakan kenaikan harga tidak bakal signifikan. Pasalnya, biaya lain seperti bahan baku gandum sudah mulai melunak.
"Saya dengar industri terigu kecukupan stok sampai Desember, saya lihat kemungkinan berhenti di sini (Rp 2.500-3.200/bungkus). Apalagi sekarang Ukraina Rusia sudah bolehkan pengiriman. Bulan lalu saya cek 50 ribu ton dikirim Ukraina ke mancanegara, Indonesia dapat dari India. Ini kan sebetulnya mulai reda," kata Adhi.
Selain itu, pelaku usaha juga mulai mencari bahan baku lain yang bisa dijadikan substitusi, tujuannya demi mengurangi ketergantungan dari negara lain. Selama ini, Indonesia mengimpor bahan baku gandum dari negara seperti Ukraina dan Rusia.
"Bahan baku nggak single, mencari substitusi lain, misal bahan baku mahal distribusi ke lainnya, yang penting mutu sama tetap dijaga. Lalu efisiensi kita perlu tingkatkan agar biaya kita menurun. Mengurangi inventori yang nggak perlu," ujar Adhi.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Syok, Harga BBM Seluruh SPBU RI Kompak Naik