
Awas! 3 Lembaga Asing Ternama Ini Ungkap Ramalan Mengerikan

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah pandemi yang melandai, ekonomi dunia ternyata kembali dihadapkan oleh tantangan hebat akibat kondisi geopolitik yang memanas antara Ukraina dan Rusia.
Kondisi ini menambah beban negara-negara di dunia yang mulai pulih dari pandemi selama lebih dari 2,5 tahun terakhir. Pasalnya, perang Rusia dan Ukraina terus berlanjut dan berdampak pada kenaikan harga pangan dan energi.
Ujung-ujungnya, tak sedikit negara yang harus mencatatkan rekor laju inflasi di dalam Indeks Harga Konsumennya. Inflasi tinggi ini diikuti oleh langkah negara-negara maju yang kemudian menaikkan suku bunga acuannya. Kebijakan yang memicu outflow di pasar negara berkembang.
Lembaga internasional pun mulai memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global dan beberapa negara pada tahun ini dan 2023. Mayoritas menggambarkan perlambatan ekonomi dapat berujung resesi.
Berikut ini proyeksi ekonomi dunia pada 2022 dan 2023 dari sejumlah lembaga internasional:
1. IMF
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 dan 2023 pada rilis proyeksi terbarunya bulan lalu (26/7/2022).
IMF memperkirakan ekonomi global akan melambat menjadi 3,2 persen pada tahun ini, dibandingkan 6,1 persen tahun lalu.
Proyeksi tersebut lebih rendah dari rilis bulan April, sebesar 3,6 persen.
Sementara itu, lembaga yang berkantor pusat di Washington, AS, ini meyakini pelemahan ekonomi akan berlanjut hingga tahun depan.
IMF memperkirakan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 2,9 persen, dipangkas dari sebelumnya 3,6 persen.
"Ini merefleksikan perlambatan pertumbuhan di tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Euro-dengan konsekuensi penting bagi prospek global," ungkap Direktur Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas.
IMF pun memperkirakan laju inflasi akan tembus 6,6 persen di negara maju dan 9,5 persen di negara berkembang.
"Infllasi telah meluas di banyak ekonomi, mencerminkan efek dari tekanan harga akibat disrupsi rantai pasok dan pasar tenaga kerja yang ketat," ungkapnya.
Dari data IMF, inflasi baru akan melandai ke kisaran 4 persen hingga 2 persen pada 2023 di negara maju. Sementara itu, negara berkembang diproyeksi masih merasakan laju inflasi yang tinggi di atas 3 persen pada 2023.
IMF pun mencatat sejumlah risiko yang patut diwaspadai, a.l. perang di Ukraina yang dapat menghentikan pasokan gas dari Rusia ke Eropa, inflasi yang tinggi, kondisi finansial global ketat yang berisiko menambah tekanan utang di negara berkembang, dan kenaikan harga pangan dan energi yang berisiko menimbulkan gejolak sosial, serta fragmentasi geopolitik yang dapat mengganggu perdagangan dan investasi.
Setelah menghadiri pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Bali, Managing Director IMF Kristalina Georgieva membeberkan gelapnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan.
"Ini akan menjadi 2022 yang sulit-dan mungkin 2023 yang lebih sulit, dengan peningkatan risiko resesi," tulisnya dalam blog IMF, beberapa waktu lalu (13/7/2022).
Georgieva mengutip besarnya dampak perang Rusia dan Ukraina sebagai faktor yang menganggu perekonomian dunia.
2. Bank Dunia
Pada Juni lalu, Bank Dunia atau World Bank telah merilis proyeksi ekonominya untuk tahun ini dan 2023. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan turun menjadi 2,9% pada 2022, dari 5,7% pada 2021 atau turun 1,2 poin persentase dari perkiraan lembaga tersebut di Januari.
Bank Dunia meyakini pertumbuhan ekonomi dunia kemungkinan akan mendekati level yang sama atau mengalami stagnasi pada 2023 dan 2024.
"Perang di Ukraina, lockdown di China, gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam siaran pers (7/6/2022).
Senada dengan IMF, Bank Dunia melihat inflasi global akan melandai, meskipun berada di atas target.
Berkaca dari stagflasi di era 70-an, Bank Dunia mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga yang tajam di beberapa ekonomi negara maju menjadi biang kerok dari krisis keuangan di negara berkembang.
Oleh karena itu, Direktur Prospects Group Bank Dunia Ayhan Kose mengingatkan pemerintah di negara berkembang harus menyeimbangkan kebutuhan untuk memastikan kesinambungan fiskal dengan kebutuhan untuk mengurangi dampak krisis bagi warganya yang paling miskin.
3. OECD
Sebelum perang berkecamuk antar Rusia dan Ukraina, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melihat ekonomi dunia berada di jalur pemulihan yang kuat dari pandemi Covid-19.
Sayangnya, perang di Ukraina diperparah dengan gangguan rantai pasok akibat kebijakan nol-Covid dari China memberikan pukulan serius bagi pemulihan tersebut.
OECD memperkirakan PDB global akan melambat tajam tahun ini, menjadi 3 persen. Lembaga ini juga melihat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 akan berada di kisaran yang sama.
"Pertumbuhan akan jauh lebih lemah dari yang diharapkan di hampir semua ekonomi. Banyak negara yang terdampak, dan yang paling terpukul berada di Eropa," ungkap OECD.
Lebih lanjut, OECD melihat perlambatan pertumbuhan ekonomi ini akibat perang yang berkepanjangan dapat menekan pendapatan masyarakat dan memperketat kesempatan kerja.
Di sisi lain, OECD mengkhawatirkan adanya risiko kelaparan dan goncangan sosial akibat dari kenaikan harga pangan dan energi sebagai imbas disrupsi pasokan.
"Kenaikan tajam harga sudah merusak daya beli, yang akan memaksa rumah tangga berpenghasilan rendah di seluruh dunia untuk mengurangi barang-barang lain untuk membayar energi dasar dan kebutuhan pangan," ungkap OECD dalam rilisnya Juli lalu.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Cerita Ngerinya Dunia Jadi Ancaman, RI Kena Getahnya!