Blak-blakan Anak Buah Sri Mulyani Pembiayaan Infrastruktur RI

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
08 July 2022 14:20
utang
Foto: Ilustrasi utang (Aristya Rahadian Krisabella/CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penarikan surat berharga negara (SBN) diakui pemerintah terus mengalami tantangan. Apalagi dalam pembiayaan infrastruktur di dalam negeri.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan, dalam pembangunan infrastruktur publik di dalam negeri, tak bisa semuanya ditanggung oleh APBN. Oleh karena itu, untuk membangun infrastruktur dibutuhkan berbagai inovasi pendanaan.

"Infrastruktur itu long investment, mereka (investor) butuh kepastian, risk-nya harus diperhitungkan sehingga investor bersedia untuk ikut masuk," jelas Luky dalam sebuah webinar, Jumat (8/7/2022).



Menurut dia, dalam merancang pendanaan infrastruktur dan untuk menarik investor harus dibangun kredibilitasnya. Hal ini mirip seperti pemerintah dalam menerbitkan SBN.

"Kami mengelola sovereign bond, gak ada kolateral atau underlying-nya, tapi kita bicara trust, kredibilitas dan reputasi. Kita dinilai dari rating agency dan melihat risikonya, dikonversikan dalam bentuk rate-nya berapa. Ada investment grad, nanti ditransaksikan, ini cost yang harus dibayar dalam yield (imbal hasil)," jelas Luky.

Semua risiko dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri, menurut dia, harus diperhitungkan. Karena ketika proyek itu gagal, akan langsung menghantam APBN.

"Harus bisa memberikan keyakinan kepada investor. Hitung semua risiko dan perencanaan yang matang," ujarnya.

Pun, kata Luky, saat pemerintah menerbitkan Surat Berharga Syariah (SBSN) dan green sukuk. Pemerintah juga melakukan ekstra usaha dalam persiapan project-nya yang menjadi underlying.

"Bagaimana meyakinkan investor ini adalah proyek hijau, bikin report dan bisa men-deliver janji kita. Ada extra effort. Harapan kita bisa ditransmisikan dalam pricing benefit," ujarnya.

Menurutnya, swasta akan masuk dalam suatu proyek apabila menguntungkan, di sisi lain pembangunan infrastruktur masuk dalam investasi jangka panjang. Oleh karena itu pemerintah harus mengelola risiko agar investor mau masuk dalam berbagai proyek pembangunan.

"Sayangnya masih belum melihat adanya benefit dari by going green yang sudah menerbitkan sifatnya green. Yang kita harapkan yield-nya itu cost-nya harus lebih rendah. Tanpa itu akhirnya membuat calon-calon issuer, ngapain repot menerbitkan yang sifatnya green kalau there's no incentive," jelas Luky.

Di samping itu, saat pemerintah menerbitkan surat utang, kata Luky, investor akan melihat aspek kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan bagaimana pemerintah mengelola ekonomi mulai dari sektor riil, moneter, fiskal dan eksternal.

Di dalam RPJMN Nasional di tahun 2020-2024, total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai Rp 6.445 triliun dan APBN hanya mampu menyediakan Rp 2.706 triliun triliun atau 42% dari total kebutuhan pendanaan, dan sisanya berasal dari BUMN serta swasta.

Pemerintah, kata Luky, akan terus mendorong alternatif pendanaan menggunakan skema kerja sama pembangunan yang melibatkan swasta (Public Private Partnership (PPP) dengan tujuan untuk mendukung penyediaan infrastruktur publik.

"Alhamdulilah 4-5 tahun semakin banyak so far sudah 29-30 project kami selesai dengan program skema PPP," jelas Luky.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Akselerasi Pembangunan Hijau di Indonesia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular