Warning! Korupsi dan Ketimpangan Ancam Demokrasi Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketimpangan dan korupsi masih menjadi masalah utama dalam perkembangan demokrasi di tanah air. Hal itu mengemuka dalam pembukaan Sekolah Demokrasi Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) hasil kerja sama LP3ES, Universitas Diponegoro, dan KITLV Belanda yang digelar, kemarin.
Peneliti KITLV Belanda Ward Barenschot mengatakan, tingkat korupsi begitu tinggi di Indonesia. Salah satu bukti adalah fenomena "serangan fajar" pada pemilu yang sudah sangat umum terjadi.
"Terjadi vote buying dalam politik pemilu. Vote buying di Indonesia berada pada posisi ke 3 dunia paling tinggi," ujarnya.
Untuk itu, Barenschot menilai harus ditemukan cara untuk mengurangi fenomena itu di tanah air. Jika terus terjadi vote buying, maka hal tersebut akan berbahaya untuk perkembangan demokrasi di Indonesia.
Menurut Barenschot, korupsi yang terjadi di Indonesia terjadi karena tiga hal, yaitu perilaku oknum, budaya personal yang buruk, dan sistem buruk membuka peluang korupsi. Selain itu, terdapat jebakan informalitas (informality trap) pada birokrasi.
"Politisi, birokrat semua ingin berperilaku berbeda, tetapi mereka menghadapi insentif negatif yang memaksa mereka untuk berkontribusi pada pemerintahan yang buruk. Politisi merusak tata pemerintahan. Kampanye pemilu yang sangat mahal memaksa politisi berbuat korup dan men-support bantuan kepada aturan-aturan kepada donor kampanye," kata Barenschot.
"Sementara birokrasi, menghadapi tekanan yang kuat disertai insentif untuk melemahkan implementasi kebijakan dan Undang-undang. akibatnya pemilih memilih insentif berperilaku klientalistik dan meminta serangan fajar," lanjutnya.
Lebih lanjut, Barenschot bilang sejak era kolonial, institusi negara tidak tumbuh secara alami dari kemampuan diri sendiri, tetapi mengalami opresi dari luar. Prosedur dan peraturan negara menjadi alat opresi. Utang budi dalam relasi sosial menjadi lebih penting ketimbang menegakkan institusi negara dan peraturan.
Barenschot lantas memberikan usulan perbaikan dengan smart reform, yaitu menganalisis dan mengubah struktur insentif yang dihadapi politisi.
"Kekuasaan Bawaslu harus diperkuat untuk mengurangi vote buying. Reformasi sistem pemilu dapat membuat kampanye pemilu lebih murah. Para ilmuwan politik harus ditugaskan membuat proposal reformasi sistem pemilu," katanya.
Direktur KITLV Diana Suhardiman menjelaskan, praktik korupsi yang melembaga di Indonesia bertumpu pada berbagai jenis hubungan sosial dan proses pertukaran barang dan jasa.
"Kepala proyek memainkan peranan yang cukup penting dalam praktek korupsi yang melembaga berkaitan dengan fungsi dan tanggung jawabnya dalam penggunaan dana proyek," ujar Diana.
"Proses seleksi kepala proyek akan dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan dan kebersediaan dari future-to-be kepala proyek untuk menjadi service point untuk upeti delivery. Patronage under a nation of unstated contract.
Menurut Diana, sistem upeti berhasil mengalahkan wacana publik anti korupsi. Ini karena praktik korupsi yang melembaga di sini bukan saja berlandaskan politik namun juga tertanam di dalam budaya dan kinerja birokrasi
"Diperlukan adanya pendekatan kritis terhadap korupsi menuju pembentukan strategi anti korupsi yang lebih berlandaskan politik dan budaya. Penempatan ide dan gagasan keadilan sosial sebagai landasan pembentukan strategi anti korupsi," kata Diana.
"Perdebatan pikiran dan persepsi tentang korupsi, idealnya harus disertai dengan perubahan struktural yang sesuai dalam sistem politik yang ada," lanjutnya.
Ketua Dewan Pengurus LP3ES yang juga Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik Junaidi Rachbini memberikan pandangan terkait persoalan perekonomian dalam negeri yang terpusat pada beberapa masalah krusial. Salah satunya masih terkait pandemi Covid-19.
"Dampak pandemi Covid-19yang masih terasa dan terus memengaruhi perkembangan perekonomian dalam negeri. Penanganan pandemi sampai sekarang masuk dalam dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp700 triliun. Setiap tahun, dampak Covid-19 harus menelan subsidi pemerintah sebesar Rp500 triliun," ujar Didik.
"Masalah lain adalah masalah APBN, utang dan subsidi pemerintah yang semakin membengkak," lanjutnya.
Menurut dia, ada persoalan serius pada pemerataan pendapatan dan kesenjangan ekonomi yang luar biasa serta stabilitas sosial. Kesenjangan sampai sekarang harus disubsidi dengan dana luar biasa. Sementara melonjaknya utang akan berdampak pada presiden Indonesia berikutnya.
Hal lain yang tidak kalah serius, lanjut Didik, adalah persoalan kesinambungan pertumbuhan ekonomi yang belum mencapai 6,5 % seperti masa lalu. Pertumbuhan ekonomi saat ini yang mencapai 5 % tertolong oleh naik tingginya harga batubara dan CPO di pasar dunia.
"Dampak berikutnya adalah krisis energi dan pangan. Banyak negara kini menahan untuk tidak mengekspor pangan terutama beras ke luar negeri, dan lebih mementingkan kebutuhan domestiknya akibat pengaruh geopolitik perang Ukraina vs Rusia dan dampak pandemi Covid-19. Harga pangan diperkirakan terus meninggi, demikian pula inflasi dalam negeri," kata Didik.
Dia pun menyakini perekonomian Indonesia tidak akan bernasib sama seperti Srilanka dan Pakistan karena ekonomi domestik saat ini berada pada ranking 15 dari 200 negara di dunia, dengan PDB lumayan tinggi. Tetapi wajah perpolitikan Indonesia akan tetap terbelah.
"Kesenjangan kepemilikan lahan dalam indeks gini ketimpangan lahan telah mencapai angka tinggi 0,64. Sesuatu yang jika terjadi di Amerika Latin akan membuat revolusi sosial," ujar Didik.
Terkait politik nasional, dia mengatakan problem serius yang mengancam adalah banyak bandit dalam sistem demokrasi modern.
"Sistemnya memang modern, tetapi perilaku yang muncul adalah perilaku bandit. Sebagaimana dikatakan Mancur Olson, dalam sejarah transisi kekuasaan/pemerintahan terjadi evolusi sejak era anarkhi, lalu ke tirani dan pada sistem demokrasi dan rule of law," kata Didik.
(miq/miq)