Bappenas: Kota-kota Besar RI Kini Sulit Dapat Air Aman
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan, sebanyak 90,21% masyarakat Indonesia memiliki akses terhadap air. Namun, hanya 12% mendapatkan air yang dikategorikan aman.
Demikianlah disampaikan Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti dalam webinar yang dikutip Kamis (9/6/6022). Aman yang dimaksud Tri artinya cuma butuh sekali pengolahan untuk bisa langsung dikonsumsi.
"Ada kecenderungan lain yang menguat di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Karena air di sumur perlu di treatment satu kali, bergeserlah, mengandalkan air minum dalam kemasan atau isi ulang. Tapi berdasarkan studi, kualitas isi ulang jauh lebih rendah dari perpipaan. Sementara air kemasan harganya tidak terjangkau dan tidak selalu tersedia setiap saat. Artinya air minum kemasan dan isi ulang ini bukan akses," ujar Tri Dewi Virgiyanti.
Tri menjelaskan menyediakan air aman itu bukan perkara mudah. Misal di wilayah DKI Jakarta, untuk urusan air layak, masih harus mendatangkan air dari luar kota. Menurutnya sumber-sumber air aman layak di Jakarta hanya bisa mengakomodir sekitar 6 persen dari kebutuhan warga.
Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna, menambahkan, hal tersebut bisa diwujudkan oleh kerja sama pemerintah BUMN dan swasta.
"Kalau berhubungan dengan masyarakat harus (dikelola) PDAM (atau) BUMD daerah. Tapi percepatan sambungan rumah, bisa dikerjasamakan, lingkupnya membangun," terangnya.
Direktur Pelayanan PAM JAYA, Syahrul Hasan, menyatakan sebanyak 36% belum terlayani antara lain karena Jakarta masih kekurangan sumber air baku. Kata dia, sumber-sumber air baku di Jakarta seperti sungai, danau maupun embung, tidak bisa menjawab pasokan untuk 36 persen warga yang belum terlayani.
PAM Jaya kata dia punya target untuk mengakses semua warga ibukota paling lambat pada 2030 mendatang. Namun upaya tersebut tidak bisa dilakukan tanpa bantuan pihak lain. Menurut Syahrul Hasan dibutuhkan kerjasama dari banyak pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga swasta, agar 36 persen warga ibukota yang belum terlayani bisa mendapatkan akses,
"Apakah swasta bisa terlibat, saya rasa dimungkinkan. Apakah nanti di pengelolaannya, atau didistribusinya," kata Syahrul Hasan.
Bantuan pihak lain menurutnya sangat dibutuhkan, terlebih karena pandemi Covid-19. Kata dia Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sama seperti pemerintah daerah lain, mengalami permasalahan di anggaran akibat pandemi. PAM Jaya sendiri menurutnya diproyeksikan baru bisa menerima penanaman modal dari pemprov paling cepat pada tahun 2026 mendatang.
(mij/mij)