Sri Mulyani Warning Ancaman Baru Ekonomi Dunia, RI Terancam?
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan krisis keuangan finansial akan terjadi dalam waktu dekat di beberapa negara. Indonesia harus bersiap terkena imbasnya.
"Sekarang kita harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi," tegas Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPD RI seperti dikutip, Kamis (9/6/2022)
"Sekarang kita harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi"Sri Mulyani |
Tren peningkatan suku bunga sudah mulai terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Dimulai dari Amerika Serikat (AS) yang secara agresif menaikkan suku bunga sejak Maret 2022 dan terus berlanjut hingga tahun depan.
Dalam teorinya, kenaikan suku bunga dibutuhkan untuk meredam lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi yang diperburuk oleh perang Rusia dan Ukraina. Kawasan Eropa serta Amerika Latin ikut merespons dengan hal serupa.
Kebijakan tersebut juga penting bagi negara berkembang untuk mengamankan nilai tukar agar tidak jatuh. Hal ini dianggap mampu menyeimbangkan kenaikan yield US Treasury, sehingga aliran modal tidak terlalu deras keluar. "Emerging market akan bergerak lebih cepat karena tidak mungkin behind the curve," jelasnya.
Sri Mulyani juga berkaca pada sejarah. Di mana setiap kali AS menaikkan suku bunga acuan, beberapa negara alami krisis keuangan.
Contohnya ketika 1980, ketika AS menaikkan suku bunga acuan sampai dengan 20%, maka Brasil, Argentina dan Meksiko alami krisis keuangan. Hal yang sama juga terjadi lagi ketika tahun 1990 di mana suku bunga AS naik menjadi 9,75%. "Ketika interest rate naik, emerging seperti Brasil, Meksiko dan Argentina krisis keuangan," jelasnya.
Pada 2007 suku bunga acuan AS juga naik sampai 5,25%. Sehingga dunia saat itu alami krisis keuangan.
Bank Dunia baru saja mengeluarkan laporan terbaru. Ekonomi global diperkirakan hanya akan tumbuh 2,9%, sekitar 1,2 poin persentase di bawah perkiraan Januari lalu. Padahal, pemulihan pertumbuhan menjadi 5,1% sempat terjadi di 2021 menyusul meredanya pandemi.
"Risiko dari stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas bagi ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah," kata Presiden Bank Dunia David Malpass, dikutip AFP, Rabu. "Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari."
Dan, tambahnya, jika risiko terhadap prospek terwujud, pertumbuhan global dapat melambat bahkan lebih tajam. "Ini memicu resesi di seluruh dunia" ujar Malpass memperingatkan.
(mij/mij)