Harga BBM Sampai Listrik Ditahan, Bunga Kredit Tak Harus Naik
Jakarta, CNBC Indonesia - Langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menambah anggaran subsidi demi tidak adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite hingga listrik berdampak positif ke banyak hal. Termasuk ke keputusan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
"Inflasi domestik berpotensi tentu bisa lebih tinggi apabila kenaikan harga komoditas global sepenuhnya di passthrough ke harga domestik," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti dikutip Selasa (7/6/2022)
"Namun potensi transmisinya tingginya harga komoditas tersebut dapat kami redam dengan konsekuensi biaya subsidi dan kompensasi yang melonjak sangat tinggi untuk pertahankan harga BBM, LPG dan listrik dalam negeri," tegas Sri Mulyani.
Diketahui perang Rusia dan Ukraina membuat harga minyak melonjak drastis ke atas US$ 100 per barel. Risikonya harga energi di seluruh dunia ikut melonjak, termasuk Indonesia. Pemerintah menahan kenaikan itu dengan memberikan subsidi juga kompensasi yang tahun ini mencapai Rp 520 triliun.
Kebijakan tersebut menurunkan ekspektasi inflasi. Baik Bank Indonesia (BI), pemerintah maupun sejumlah analis tadinya memperkirakan inflasi bisa melebihi level 4% di akhir tahun. Namun kini proyeksi tersebut berubah karena tidak adanya kenaikan pertalite, LPG maupun tarif listrik yang dipergunakan masyarakat umum.
Inflasi menjadi acuan BI dalam memutuskan suku bunga acuan. Seperti yang dialami banyak negara dunia, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris dan negara-negara di Amerika Selatan. Ketika inflasi naik, maka respons yang harus diambil sebagai 'obat peredam' adalah menaikkan suku bunga acuan.
"Dengan kordinasi pemerintah dan BI, inflasi terkendali. Itu juga akan mengurangi keharusan untuk merespon melalui suku bunga sebagaimana bank sentral negara lain," tutur Perry, dalam konferensi Pengumuman Hasil RDG Bulanan Bulan Mei.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi April menembus 0,95% (month to month/mtm) atau menjadi yang tertinggi sejak Januari 2017. Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi melonjak 3,47% di April. Level tersebut adalah yang tertinggi sejak Agustus 2019.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Mei 2022 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
BI sudah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 3,5% sejak Februari 2021 atau sudah bertahan selama 15 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
Suku bunga acuan yang rendah dapat membantu ekonomi Indonesia melanjutkan pemulihannya. Sebab apabila ada kenaikan, maka masyarakat harus siap dengan lonjakan suku bunga kredit perbankan yang siap menghantam korporasi hingga rumah tangga.
(mij/mij)