'Raksasa' Sritex Terlilit Utang, Ada Apa Industri Tekstil?

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
02 June 2022 17:20
Pengunjung berbelanja di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (6/1/2022). Pengelola Blok A Pasar Tanah Abang Jakarta Heri Supriyatna mengatakan pasarnya sudah mulai menggeliat dan terdapat peningkatan transaksi dagang sejak awal Desember 2021 sebesar 75-80 persen jika dibandingkan pada Desember 2020, karena dipengaruhi pelonggaran kebijakan PPKM serta momen mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran tahun 2022. Dilokasi menurut Zaki (37) yang berjualan di Blok B Lt. Los F
Foto: Pengunjung berbelanja di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (6/1/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang menggunung raksasa tekstil Sritex menjadi gambaran industri tekstil tengah menghadapi kondisi sulit. Salah satu penyebab goyahnya banyak pabrikan tekstil karena derasnya produk impor yang masuk ke pasar domestik.

Kalangan pelaku usaha mengungkapkan bahwa sebagian besar barang yang beredar di pasar grosir maupun online belum memiliki mekanisme pemungutan PPN yang maksimal .

Banyak juga pelaku usaha pedagang memakai mekanisme PPN Industri Kecil Menengah (IKM) final sehingga produk pabrik kalah saing karena praktik unfair.

"Bagaimana bisa kami menaikkan harga jual kalau banyak pelaku usaha yang masih berpura pura menjadi IKM dan menjual barang tanpa PPN," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ian Syarif kepada CNBC Indonesia, Kamis (2/6).

Ian berharap agar pengawasan terhadap volume barang impor juga diperketat agar tercipta level persaingan yang sama di pasar domestik. Jika tidak, industri dan garmen tekstil utamanya dari tingkatan kecil bakal ikut terdampak

Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta juga mewanti-wanti garmen dalam menghadapi masa kuartal II ini.

"Kami sangat mengkhawatirkan kinerja sektor ini di kuartal 2 dan seterusnya, terlebih ada tekanan dari sisi biaya yaitu kenaikan bahan baku, kenaikan tarif listrik dan kenaikan PPN," katanya.

Berbagai biaya operasional yang tengah dihadapi memang menyulitkan pabrikan untuk mendapatkan laba. Bahkan sekelas Sritex saja harus mencatatkan kerugian tidak sedikit.

Sritex melaporkan rugi bersih hingga US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$) sepanjang tahun 2021 lalu.
Angka kerugian tersebut membengkak dari semula masih mencatatkan keuntungan US$ 85,32 juta (Rp 1,24 triliun) pada tahun 2020.

Rugi fantastis tersebut salah satunya didorong oleh pendapatan perusahaan yang tercatat turun menjadi US$ 847,52 juta, dari semula sejumlah US$ 1,28 miliar.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mendadak Indeks Kepercayaan Industri RI Menurun, Kenapa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular