Beli Pertalite dan Solar Dibatasi, Awas Bisa Gaduh!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana membatasi pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan minyak diesel alias Solar. Namun, rencana tersebut dinilai hanya akan menambah kegaduhan dan membutuhkan ongkos mahal terutama untuk pengawasan.
Seperti diketahui, pemerintah tengah membuat petunjuk teknis untuk pembelian BBM jenis RON 90 atau Pertalite dan Solar bersubsidi. Melalui aturan ini, kriteria pembeli dari kedua produk BBM tersebut akan diatur. Misalnya, pembelian Pertalite bisa saja diperuntukkan untuk kendaraan sepeda motor dan angkutan barang atau memanfaatkan aplikasi MyPertamina.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut. "Perlu dikaji ulang biaya dan manfaatnya. Bisa jadi biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penghematan," tutur Komaidi kepada CNBC Indonesia.
Biaya tersebut di antaranya adalah untuk melakukan pengawasan serta memastikan implementasi sesuai dengan yang diharapkan. "Untuk implementasi kan perlu pengawasan yang linier dengan biaya. Sementara di lapangan juga ada potensi konflik petugas SPBU dan konsumen. Kalau misal mereka tidak bisa dilarang petugas kemudian harus bagaimana," imbuhnya.
Sebagai catatan, bukan kali ini saja pemerintah merencanakan pembatasan pembelian BBM. Saat harga minyak mentah melejit pada tahun 2013-2014 pun pemerintah sudah mewacanakan sejumlah rencana pembatasan pembelian BBM. Namun, semuanya berujung wacana.
Salah satunya adalah penggunaan teknologi RFID (radio frequency identification (RFID) seta sistem pembayaran non-tunai untuk pembelian BBM.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengingatkan pembatasan pembelian BBM Pertalite ataupun Solar hanya akan menambah kekisruhan berupa kelangkaan pasokan. Hal ini akan menjadi persoalan besar mengingat konsumen Pertalite meningkat setelah harga Pertamax naik April lalu.
"Pembatasan akan berujung pada fenomena kelangkaan Pertalite, mirip seperti Premium dulu. Gap harga antara Pertamax dan pertalite sekarang cukup besar sehingga ada potensi konsumsi pindah ke Pertalite," imbuhnya.
Irman belum bisa menghitung berapa anggaran yang bisa dihemat jika ada pembatasan pembelian. Besaran penghematan akan sangat ditentukan oleh mekanisme dan besaran volume yang dibatasi.
Sebagai catatan, volume Pertalite pada tahun ini ditetapkan 23,05 juta kilo liter sementara Solar bersubsidi 15,1 juta Solar.
Senada, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemerintah sebaiknya tidak mengatur pembelian Pertalite dan Solar. Terlebih, Indonesia baru saja menghadapi kegaduhan akibat kelangkaan minyak goreng.
"Hindari kegaduhan akibat pengaturan subsidi. Ada risiko besar dari kelangkaan. Ujung-ujungnya bisa menjadi persoalan politik," tutur Piter, kepada CNBC Indonesia.
Piter mengingatkan pemerintah juga belum memiliki data penerima subsidi BBM yang valid sehingga subsidi tertutup sulit dilakukan. Dia memahami beban berat pemerintah akibat lonjakan harga minyak. Pemerintah juga perlu menjaga kesehatan APBN.
"Nanti dulu deh upaya mengembalikan APBN agar lebih solid dan disiplin, yang kita butuh adalah agar tidak terjadi kegaduhan. Data pemerintah juga tidak cukup. Efek negatif pembatasan pembelian BBM bisa lebih besar daripada manfaatnya," imbuhnya.
Indonesia tidak pernah melakukan pembatasan pembelian BBM meskipun wacana tersebut kerap dilakukan. Pemerintah memilih untuk menaikkan harga BBM dan tidak membatasi pembeliannya.
Melalui kenaikan harga BBM, pemerintah diperkirakan bisa menghemat subsidi hingga triliunan. Bank Dunia memperkirakan pemerintah bisa menghemat Rp 100 triliun di tahun 2015 dari reformasi kebijakan subsidi BBM pada tahun tersebut. Sebagai catatan, mulai 2015, pemerintah menetapkan harga BBM Premium berdasarkan mekanisme pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)