CNBC Insight

Buya Syafii Maarif: Guru Bangsa Penjaga Toleransi Antaragama

Petrik Matanasi, CNBC Indonesia
27 May 2022 14:35
Foto: Buya Syafii Maarif (Jauh Hari Wawan S/detikcom)
Foto: Buya Syafii Maarif (Jauh Hari Wawan S/detikcom)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar duka hari ini tidak hanya menghampiri Muhammadiyah, tapi juga bangsa Indonesia. Ahmad Syafii Maarif yang dikenal sebagai Buya Syafii Maarif telah tutup usia pada Jumat 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Buya Syafii, dari tahun 1998 hingga 2005, merupakan ketua umum PP Muhammadiyah.

Selama beberapa tahun terakhir ini, Buya Syafii dikenal sebagai tokoh yang terus menganjurkan toleransi antar agama di Indonesia. Buya Syafii termasuk tokoh yang dicaci sebagian golongan anti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait kasus dugaan penistaan agama.

"Ahok tidak mengatakan Al Maidah (ayat 51) itu bohong," kata Buya Syafii seperti dirilis Antaranews (7/11/2016). Soal toleransi antar agama di Indonesia, Buya Syafii bukan tokoh kemarin sore. Ada cerita dari almamater dan tempatnya lama jadi profesior, di jurusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, suatu kali ada mahasiswa fanatis yang didebatnya dengan keras. Toleransi adalah kebutuhan.

"Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap," tulis Buya Syafii dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (1996:154). Di almamaternya, Buya Syafii sempat menjadi profesor emiritus.

Setelah tidak lagi menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, di usia yang yang sudah lewat pensiun, dia sempat mengajar filsafat sejarah untuk para mahasiswa calon guru sejarah. Dia bahkan tidak ragu merogoh koceknya untuk memfotocopy klipingan tulisannya sendiri dari rubrik Resonansi di koran Republika agar dibaca para mahasiswanya.

Buya Syafii adalah doktor lulusan Universitas Chicago dengan disertasi berjudul "Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia" (1983). Sebagai akademisi dan intelektual, Syafi'i banyak menulis buku terkait Islam. Seperti Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak? (1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), juga Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009). Dia bahkan pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay pada 2008.

Bersama Nurcholish Madjid dan Amien Rais, pada era 1990-an dijuluki sebagai Tiga Pendekar dari Chicago. Pemikirannya tidak hanya menarik bagi umat Islam, tapi juga bagi orang-orang yang tidak beragama Islam.

Buya Syafii berasal dari Sumpur Kudus, Sawahlunto, Sumatera Barat. Dia merantau sejak 1953 dan lama sekolah lalu kuliah di Yogyakarta. Dalam autobiografinya, Titik Kisar Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi'i Maarif (2009) Buya Syafii mengaku, "aku yang semula pro-PRRI, tetapi melihat korban yang begitu banyak, perlu mempertanyakan cara-cara berjuang untuk menekan Jakarta dengan membentuk pemerintah tandingan." Tak mengherankan jika Buya Syafii kemudian menjadi sosok yang menghindarkan Indonesia dari kekerasan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pmt/pmt)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Selamat Jalan Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular