Kenaikan Setoran Batu Bara Gak Akan Bikin Pengusaha Rugi!

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
19 April 2022 18:30
Pekerja membersihkan sisa-sisa batu bara yang berada di luar kapal tongkang pada saat bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengurangi besar-besaran konsumsi batu bara di dalam negeri, bahkan tak mustahil bila meninggalkannya sama sekali. Hal ini tak lain demi mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, seperti yang dikampanyekan banyak negara di dunia. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pemerintah menggenjot setoran atau tarif royalti dari sektor pertambangan batu bara melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 dinilai tak akan membuat pengusaha merugi. Pasalnya, pemerintah sudah menghitung nilai keekonomian untuk perusahaan tambang.

Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman mendukung terbitnya PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara. Terlebih, wacana kenaikan royalti ini sudah berjalan cukup lama.

"Kita ini kan negara paradoks, di satu sisi kita kaya akan tambang tapi penerimaan negara kecil, negara jadi miskin, produsen batu bara kaya raya. Menurut saya, kenaikan royalti ini realistis, pemerintah sudah menghitung keekonomiannya. Gak akan rugi itu mereka (pengusaha)," kata dia kepada CNBC Indonesia, Selasa (19/4/2022).

Menurutnya, kenaikan royalti ini sangat penting dilakukan, terutama karena selama ini produsen batu bara sudah menikmati untung besar dengan lonjakan komoditas emas hitam ini. Ia pun menilai kenaikan tarif royalti tak akan berdampak pada segi investasi di sektor ini.

"Gak akan berpengaruh besar, ini cuma paniknya pelaku usaha saja. Kalau kalian tidak tertarik di batu bara lagi, cari yang lain aja, kita gak paksa mereka juga. Kita butuh infrastruktur padat karya dan modal besar yang benar-benar memperkerjakan banyak orang dan tidak mengotori lingkungan hidup," katanya.

Sebelumnya, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai pengenaan tarif royalti progresif akan semakin membuat industri batu bara tertantang, terutama untuk melakukan sejumlah efisiensi operasional ke depan.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menjelaskan bahwa kondisi tersebut terjadi lantaran sebagian besar dari produksi batu bara nasional dihasilkan dari tambang-tambang yang usianya sudah cukup tua. Kemudian cadangan yang semakin dalam, sehingga beban biaya operasi menjadi semakin tinggi.

"Kenaikan biaya operasi juga semakin dirasakan dengan naiknya biaya bahan bakar, alat berat, dan lain-lain," ungkap Hendra.

Di samping itu, dengan semakin tingginya tarif royalti, ditambah dengan beban tarif perpajakan lainnya, termasuk ke depan tambahan dari pajak karbon, maka upaya perusahaan untuk berinvestasi di era transisi energi akan semakin sulit.

Akibatnya, hal ini juga dapat berpengaruh terhadap rencana investasi untuk peningkatan nilai tambah batu bara, di mana aspek keekonomian masih sulit karena teknologi terhitung mahal. Selain itu, akses terhadap pendanaan untuk investasi berbasis batu bara juga semakin berkurang.

"Kondisi ke depannya tentu akan semakin menyulitkan pelaku usaha terutama jika kondisi harga komoditas terkoreksi di tengah makin kuatnya tekanan terhadap komoditas batu bara," kata dia.

Adapun pungutan berupa Penerimaan Hasil Tambang untuk kegiatan peningkatan nilai tambah yang kemungkinan masih dikenakan royalti sekitar 14%, menurut Hendra akan mempersulit mewujudkan rencana proyek peningkatan nilai tambah. Pasalnya, keekonomiannya menjadi lebih menantang.

Menurut Hendra, pembahasan atas draft PP ini telah dilakukan sejak 2018 dengan melibatkan APBI, pihaknya pun aktif memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah. APBI berharap agar dapat diadakan sosialisasi bagi pelaku usaha untuk dapat lebih memahami implementasi dari PP tersebut.

Hendra menyebut, sebagai asosiasi yang merupakan mitra, pihaknya menyadari keinginan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui PP tersebut. Adapun usulan yang telah disampaikan para pelaku pengusaha sebelumnya diyakini akan memberikan dampak peningkatan terhadap penerimaan negara.

"Namun tentu saja pemerintah mengharapkan porsi kenaikan yang lebih besar. Oleh karena itu kami berharap pemerintah dapat memberikan insentif bagi pelaku usaha agar bisa survive berinvestasi di era transisi energi dan tantangan yang lebih besar ke depannya," kata dia.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Juragan Batu Bara: Harga Tinggi Hanya Sementara!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular