Pak Jokowi Yakin Mau Naikin BBM-LPG-Listrik? Ngeri Dampaknya
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memiliki wacana untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar subsidi, serta Liquefied Petroleum Gas (LPG) subsidi 3 Kg, hingga tarif listrik. Rencana kenaikan ketiga komoditas energi yang sudah menjadi bahan wajib pokok masyarakat itu dinilai akan memilik dampak yang besar.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyarankan kepada pemerintah, supaya wacana kenaikan harga Pertalitem, Solar subsidi, LPG 3kg dan Tarif Listrik di tutup buku saja. Artinya rencana tersebut tidak perlu disampaikan kepada publik.
Pasalnya, kenaikan satu jenis energi saja yang diatur pemerintah seperti LPG 3 Kg, maka risiko terhadap daya beli 40% kelompok pengeluaran terbawah sangat besar.
"Inflasi diperkirakan menembus 5% di 2022 apabila pemerintah bersikeras naikan harga pertalite dan lpg 3 Kg secara bersamaan," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (14/4/2022).
Menurut Bhima, masyarakat kelas ekonomi ke bawah tidak mempunyai pilihan lain jika nantinya LPG 3 Kg mengalami penyesuaian harga. Mau tidak mau, mereka akan tetap memakai LPG subsidi karena barang tersebut merupakan kebutuhan utama.
"Akhirnya berimbas kemana-mana termasuk naiknya angka kemiskinan," ujarnya.
Selain itu, dampak ke gejolak sosial juga harus diwaspadai, konflik horizontal antar masyarakat karena ketimpangan semakin lebar antara the haves dan the have-nots juga dapat krisis multidimensi. Ongkos pemulihan ekonominya juga akan sangat mahal.
"Sri Lanka saja sudah mundur kabinetnya, di kolombia tahun lalu juga Menteri Keuangan sampai mengundurkan diri karena tidak mampu kendalikan inflasi," kata Bhima.
Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai kenaikan harga sejumlah energi akan memiliki dampak yang cukup beragam. Bagi kalangan atas menengah kenaikan bukan menjadi soal, namun beda soal bagi kelas menengah yang berada di sekitaran kelas bawah.
Artinya mereka tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat miskin yang menerima bantuan dari pemerintah. Termasuk didalamnya subsidi terhadap beragam komoditas di atas.
Sehingga mereka-mereka ini berpotensi untuk masuk ke kategori masyarakat miskin, jika ternyata daya beli mereka tidak bisa mengikuti dari kenaikan harga komoditas ini.
"Tentu dari sisi politik tekanan daya beli menjelang tahun politik bukan merupakan yang bagus dari sisi pemerintahan/partai politik karena akan berpotensi menjadi presiden buruk bagi mereka," ujarnya.
(pgr/pgr)