
Tanker Pertamina Dicegat Greenpeace: Ada yang Lebih Heboh!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kapal tanker raksasa kedua milik Pertamina yang bernama Pertamina Prime dikabarkan dicegat aktivis Greenpeace saat berada di lepas pantai Denmark dan menjadi berita heboh pada Minggu (3/4/2022). Kapal dengan panjang 330 meter ini, dicegat setelah mengangkut minyak dari Rusia. Peristiwa ini ke depannya akan mewarnai sejarah perkapalan tanker milik Pertamina.
Sekitar tahun 2004, terjadi penjualan dua tanker very large crude carrier (VLCC). Meski penjualan itu ditentang, penjualannya yang dilakukan PT Pertamina jalan terus. Kala itu muncul dugaan bahwa penjualan dua tanker terdapat unsur penyuapan.
Namun, itu bukan kali pertama soal kehebohan soal tanker Pertamina. Dari sekian kisah tanker itu, kisah pembelian kapal tanker oleh Pertamina era 1970-an adalah yang menarik untuk diingat bangsa Indonesia. Kisah ini bermula setelah sebuah pertemuan pada pertengahan 1960-an di sebuah klub malam di Jenewa, Swiss, antara Bruce Rappoport dengan Ibnu Sutowo. Keduanya sudah bukan orang sembarangan lagi pada masa itu.
Baruch "Bruce" Rappaport (1922-2010) kala itu sudah jadi bankir yang punya reputasi sebagai raja minyak dan raja kapal. Pria kelahiran Haifa berdarah Yahudi ini adalah pendiri Inter Maritime Bank pada 1966. Sementara itu Letnan Jenderal Ibnu Sutowo (1914-2001) adalah direktur utama Pertamina yang mapan sedari zaman Sukarno hingga Soeharto.
Awal 1970-an Pertamina sedang jaya. "Bankir-bankir asing berebut meminjamkan uang besar kepada perusahaan minyak itu," Richard Borsuk dan Nancy Chng, dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016:154). Bruce Rappoport yang dekat dengan Sutowo termasuk yang berpotensi jadi bankir dan dapat untung.
Persahabatan dua Crazy Rich itu akhirnya retak pada pertengahan era 1970-an, ketika Rappoport memaksa Pertamina membayar pada Juli 1976. Setelah Pertamina dianggap gagal membayar utang sindikasi jangka pendek sebesar US$ 40 juta. Pertamina kala itu disebut berutang hingga US$ 10 miliar. Utang itu berpotensi membuat Pertamina bangkrut.
Rupanya, seperti disebut Borsuk dan Chng, Ibnu Sutowo telah menandatangani 1.600 lembar promes kepada Rappoport untuk menyediakan dana kolateral US$ 1,266 miliar tanpa membacanya. Hingga Pertamina pun terikat perjanjian sewa beli 34 kapal tanker senilai US$ 3,3 miliar.
Nilainya tentu sangat besar, tapi dilakukan dengan sikap yang serampangan pejabat Indonesia itu. Borsuk dan Chng mencatat pengakuan bankir Amerika Serikat yang berkunjung ke kantor Ibnu Sutowo, yang arsipnya dijejalkan begitu saja di lemari arsip hingga berantakan.
Bahkan terlihat promes senilai US$ 50 Juta tertumpuk dengan buruk. Kasus antara Pertamina dengan Rappoport itu tentu saja jadi bahan pemberitaan media massa Indonesia juga.
Pemerintah menolak membayar apa yang menjadi tuntutan Rappoport. Rappoport bahkan dituduh telah menggelembungkan bunga pinjaman tersebut. Kasus Rappoport dengan Pertamina yang merugikan Indonesia itu, tak membuat Ibnu Sutowo menjadi kambing hitam bagi pemerintah Indonesia. Negara, dalam hal ini orde baru Soeharto mengambil alih masalah hutang itu. Soeharto tidak menyentuhnya terkait kerugian Pertamina.
Presiden Soeharto lalu menunjuk Menteri Perdagangan Radius Prawiro dan Menteri Penertiban Aparatur Negara JB Sumarlin untuk menyelesaikan masalah tanker itu. Borsuk dan Chng mencatat peran penting Liem Sioe Liong dalam penyelesaian masalah tanker itu dengan melakukan pembicaraan dengan Rappoport di kantor Liem di Singapura. Usaha penyelesaian menemukan hasil baik bagi Indonesia dan Pertamina menjauh dari kebangkrutan.
"Pada Agustus 1977, Pertamina setuju membayar US$ 150 juta untuk menutup utang US$ 1,556 dalam kontrak dengan Rappoport-baik yang sudah dipenuhi maupun yang masih ditanggungkan," aku Radius Prawiro dalam Indonesian Struggle for Economic Development (1998:104), seperti dikutip Borsuk dan Chng. Pertamina pun tak jadi bangkrut dan harus bayar utang yang miliaran dolar itu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pmt/pmt)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Percepat Distribusi, Pertamina Bangun Supply Point Aspal